KLIKOKE: Bagansiapiapi
Tampilkan postingan dengan label Bagansiapiapi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bagansiapiapi. Tampilkan semua postingan
  • ,

    Sabda Nabi, Konstantinopel Akan Ditaklukkan. 800 Tahun Kemudian, Muhammad Al Fatih Wujudkan Hadits Itu

    Ilustrasi. (Foto :  nightlife - cityguide . com ) bacodulu.site  – Sehari jelang ‘Fathu Al-Qustantiniyyah‘ sebuah refleksi Penaklukkan Konst...

    READ MORE
  • , ,

    Mengenang Torehan Luka Bagansiapiapi

    Mengenang Torehan Luka Bagansiapiapi Resensi buku Judul Buku :  Gema ProklamasiKemerdekaan RI dalam Peristiwa Bagansiapiapi Penulis :  Sudar...

    READ MORE
  • ,

    Bukannya Kibarkan Merah Putih, Warga China Naikkan Bendera Kuomintang

      Senin, 30 Januari 2017 14:15 WIB  Penulis:  Fakhrur Rodzi    Editor:  Fakhrur Rodzi (INTERNET) PEKANBARU  - Lambatnya diterima kabar Indon...

    READ MORE

Technology

Flickr Images

Tampilkan postingan dengan label Bagansiapiapi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bagansiapiapi. Tampilkan semua postingan



Ilustrasi. (Foto : nightlife-cityguide.com)
Ilustrasi. (Foto : nightlife-cityguide.com)
bacodulu.site – Sehari jelang ‘Fathu Al-Qustantiniyyah‘ sebuah refleksi Penaklukkan Konstantinopel oleh seorang anak muda yang kemudian merubah putaran roda sejarah dan tentunya dilandasi inspirasi Rabbani lewat pembenaran dan keyakinan akan pesan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam 800 tahun sebelumnya.
Hari-hari belakangan dalam revolusi dunia digital yang dipaparkan pada kita memberi manfaat serta peluang positif bagi mengasah visi dan kemampuan pemuda-pemudi muslim bagi menengok kembali secara presisi putaran roda sejarah kejayaan Islam beberapa abad lepas. Lewat sosok pemuda Al Fatih, begitu kuat terekam 50 hari istimewa yang menggambarkan suasana batin, di mana ketegangan yang mencekam, energi batin yang begitu terkuras, ditambah celah-celah pengkhianatan serta keletihan fisik dan mental bercampur dengan keyakinan rabbani dan kepiawaian mengatasi keterbatasan sekaligus, hingga dituntaskan lewat karunia Allah Ta’ala dalam episode membanggakan berupa penaklukkan Konstantinopel 1453 M.
Suatu episode yang begitu kokoh dalam memperlihatkan korelasi agenda/proyeksi antar generasi orang-orang mukmin dalam mewarisi sekaligus mengemban risalah kenabian. Bahkan, semua dimulai oleh suasana penuh pesimisme, ketidakpastian bahkan ancaman kepunahan peradaban Islam saat terkepung semua penjuru mata angin.
Di Khandaq itulah juga hadis tentang pembebasan kota Konstantinopel dikumandangkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Bisakah kita membayangkan ketika koalisi musuh yang demikian besar dan diliputi angkara murka bersiap menerkam dan melumat ‘komunitas kecil’ bernama kaum muslimin? Rasulullah dengan lantang menjanjikan akan datangnya masa ketundukan musuh yang jauh lebih besar. Menurut baginda Rasul, bukan hanya saja kafir musyrikin dari bangsa Arab itu akan dikalahkan, malah ”Super Power” imperium Romawi Timur Byzantium yang tersohor saat itu akan dikalahkan.Ketika para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dihimpit kelaparan, pengepungan koalisi musuh yang demikian besar dan canggih, hanya mampu dijawab dengan ikhtiar penggalian parit (sesuatu yang asing saat itu) bagi menyongsong perang Khandaq, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hanya menjanjikan surga dan pengampunan bagi Muhajirin dan Anshar, tidak lebih. Namun, justru cita-cita untuk menggapai keindahan di kampung akhirat juga kondisi kehidupan yang lebih baik dan kekal menyebabkan para sahabat rela mengorbankan nikmat dunia yang sedikit dan sementara (dengan tidak memilih menjauh dari perang).
Berikut ini Al-Bara’ menegaskan,
“Ketika perang Khandaq, kami menemukan sebuah batu besar yang keras di salah satu parit yang tidak bisa dipecahkan dengan cangkul. Lalu kami mengadukan hal itu kepada Rasulullah. Maka beliau pun datang sambil membawa cangkul kemudian mengucapkan, “Bismillah.” Selanjutnya langsung memukul batu itu dengan sekali pukulan. Kemudian mengucapkan, “Allahu Akbar, telah diberikan kepadaku kunci-kunci kerajaan Syam. Demi Allah, saat ini aku benar-benar melihat istana-istananya yang (penuh dengan gemerlapan).”
Kemudian beliau memukul tanah itu untuk yang kedua kalinya. Maka terpecahlah sisi yang lainnya. Lalu beliau pun bersabda, “Allahu Akbar, telah diberikan kepadaku negeri Persia. Demi Allah, aku benar-benar melihat istana kerajaannya yang penuh dengan gemerlapan sekarang ini.”
Itulah cita-cita besar yang dikumandangkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, untuk menyalakan roh jihad pada diri-diri sahabat. Dampaknya; kelaparan, ketakutan, dan kebimbangan dapat ’dikalahkan’ karena jiwa-jiwa perindu syahid itu sudah penuh terisi dengan keyakinan yang menggelora tinggi. Namun, ketahuilah sabda sang Rasul bukanlah angan-angan kosong atau imajinasi/utopis yang bersifat ilusi konyol dari mereka-mereka yang menghadapi detik-detik kematian, tetapi beliau ialah Shadiq Al Mashduq (benar lagi dibenarkan). 800 tahun kemudian, Sultan Muhammad Al Fatih, seorang pemimpin muda Islam yang cerdas dan piawai tampil membuktikan hadits tersebut.Lantas beliau memukul tanah itu untuk yang ketiga kalinya seraya mengucapkan, “Allahu Akbar.” Maka terpecahlah bagian yang tersisa dari batu itu. Kemudian beliau bersabda, “Allahu Akbar, aku benar-benar diberi kunci-kunci kerajaan Yaman. Demi Allah, aku benar-benar melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku ini.” (Al-Mubarakfuri, 2005).
Dalam sebuah riwayat disebutkan,
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْمَدِينَتَيْنِ تُفْتَحُ أَوَّلاً قُسْطَنْطِينِيَّةُ أَوْ رُومِيَّةُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلاً يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. pernah ditanya, “Kota manakah yang dibebaskan lebih dulu, Konstantinopel atau Roma?” Rasul menjawab, “Kotanya Heraklius dibebaskan lebih dulu, yaitu Konstantinopel.” (HR Ahmad, Ad Darimi dan Al Hakim)
Demikianlah kisah heroik yang selalu menjadi energi tak berujung juga keyakinan para pejuang Islam sepanjang zaman. Sementara itu patut dicamkan bahwa orang yang hebat bukan hanya saja mengakui kebenaran hadits tersebut, namun ia akan berusaha sangat keras dan gigih untuk menjadi mereka-mereka yang mewujudkan kebenarannya.
Inilah yang dilakukan para pemimpin Islam masa lalu bermula dari Muawiyah, diikuti oleh anaknya Yazid, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, Harun Al Rasyid, Alp Arslan, Sultan Beyazid, dan akhirnya kebenaran hadits tentang pembebasan konstantinopel terwujud ditangan pemuda bergelar Al Fatih.
Sultan Muhammad Al Fatih dengan gemilang dan mengharu biru mewujudkan hadits yang dimaksud dikarenakan beliau mempunyai keinginan yang membara dan sanggup ’membayar harga’ untuk menggapai cita-cita dan inspirasi pesan Nabi.
Hati, akal, perasaan dan potensi fisik dan ruhiyah sang ’Prajurit malam’ difokuskan untuk menjadi pemimpin Inspiratif sebagaimana sabda Nabi, “Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan, dan sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin pasukan (yang menaklukannya) itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu.”
Patut diketahui, penggunaan teknologi tercanggih di bidang Metalurgi khususnya melalui ‘Fatih Canon’ sejenis ‘Meriam Howitzer’ masa kini dalam penyerbuan konstantinopel di masa tersebut membuktikan seorang Al Fatih adalah sosok yang tidak ‘Gaptek.’ Lewat kecerdasan spiritual yang dimilikinya terdapat kecerdasan lainnya seperti kecerdasan ‘terobosan’ strategi dan taktik pertempuran, kepiawaian mengelola potensi justru dari pihak ‘lawan’ dan pastinya penguasaan bahasa asing, aspek sosiologis dan budaya kawasan Romawi tersebut.
Dalam momentum 29 Mei ini, mari kita teladani jiwa, keberanian dan kesungguhan sang pembebas muda bernama Al Fatih, sebagai pribadi yang wajar namun mampu menjadi ’icon’ dalam memimpin diri dan orang lain. Mari kita susuri rahasia tersirat di balik sejarah kemenangannya. Bukan sekadar membaca fakta dan data, tetapi untuk dijiwai semangat pengorbanan di mana ia kemudian menjadi roh kebangkitan pemuda Islam.
Sebuah penaklukkan yang gemilang sebagaimana selalu dikenang setiap 29 Mei. Mungkin, hal ini pula mengakibatkan Turki modern saat ini sangat sulit dan berbelit untuk bergabung dengan Eropa. Kronologi lengkap 50 hari istimewa bisa ditelusuri di sini.
Sekali lagi, MARI LURUS & RAPATKAN SHAFF KITA.
Sungguh luruskanlah shaf kalian, atau (jika tidak) Allah akan benar-benar menimbulkan perselisihan di antara wajah-wajah kalian.” (HR Al Bukhari [177] dan Muslim [436])
Dr. Askar Triwiyanto, ST, MSc. Mat.
======
Sumber : majelis qurani

Mengenang Torehan Luka Bagansiapiapi

Mengenang Torehan Luka BagansiapiapiResensi buku
Judul Buku : Gema ProklamasiKemerdekaan RI dalam Peristiwa Bagansiapiapi
Penulis : Sudarno Mahyudin
Penerbit : Adicita, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2006
Tebal : xv + 106 halaman
Kemerdekaan Indonesia senantiasa diikuti oleh beragam peristiwa bersejarah. Peristiwa bersejarah tersebut merupakan rekam cetak historis yang ditorehkan oleh semangat perjuangan bangsa yang penuh luka-luka. Tak hanya pertempuran-pertempuran politik yang terus bergolak, bahkan konflik antarsuku ternyata juga turut mengharu-biru dalam proses perjuangan bangsa Indonesia. Kemajemukan suku bangsa di Indonesia, yang sejatinya menjadi penguat budaya, berbalik menjadi bumerang karena semangat primordialisme sempit yang sarat muatan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Setidaknya itulah yang mewarnai peristiwa Bagansiapiapi di ranah Melayu pada tahun 1946, yang telah menorehkan kisah memilukan bagi Riau Daratan, terutama warga pribumi dan etnis Cina.
Soedarno Mahyudin, penulis buku ini, sengaja menghadirkan buku ini dalam rangka mengenang kembali tragedi Bagansiapiapi sebagai upaya pembelajaran bagi segenap elemen bangsa Indonesia agar dapat mengapresiasi budaya dari etnis yang berbeda di wilayah masing-masing, khususnya terhadap etnis Cina. Peluncuran buku ini, setidaknya menjadi titik tolak adanya saling pengertian dan harapan agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Bagansiapiapi merupakan wilayah yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Kala itu, Belanda menyebutnya sebagai Een China in Oost Indie. Hal itu disebabkan komposisi penduduknya yang didominasi oleh etnis Cina. Etnis Cina di Bagansiapiapi dikenal sebagai representasi entitas budaya yang berbeda dengan orang-orang Cina dari wilayah lain. Selain karena keuletannya dan kegigihannya, semangat chauvinisme juga melekat erat dalam sanubari mereka. Sebetulnya, berapapun jumlah warga etnis tertentu di wilayah Indonesia bukan sebuah risiko. Kerentanan konflik hanya akan terjadi bila suatu etnis menyanjung primordialisme sempit sehingga merendahkan etnis lain. Dan, inilah yang terjadi di Bagansiapiapi.
Meletusnya peristiwa Bagansiapiapi I yang dikenal sebagai ‘peristiwa bendera‘, dipicu oleh tersumbatnya komunikasi antara warga pribumi dengan etnis Cina yang kala itu mengibarkan bendera Kuo Min Tang tanpa didampingi bendera merah putih, simbol identitas negara Indonesia yang baru saja merdeka. Kondisi ini menjadikan masyarakat pribumi khususnya Melayu, merasa terinjak-injak harga dirinya. Terlebih, permintaan penurunan bendera diabaikan oleh warga Cina. Pertikaian ini berakhir dengan tewasnya Kapitan Lu Cin Po, pemimpin warga Cina. Sayangnya, sejarah kelam tak berhenti di sini. Rentetan peristiwa terus berlanjut hingga menimbulkan peristiwa Bagansiapiapi II yang lebih dahsyat, yang dikenal dengan peristiwa ‘tentara jambang‘.
Rekaman sejarah menyebutkan bahwa tentara jambang merupakan satuan komponen tentara desersi (tentara yang membelot dari tugas). Dalam peristiwa ini, tentara jambang mengurung anak-anak dan perempuan, merampas harta benda, bahkan memperkosa gadis-gadis Cina di desa pantai Panipahan (hlm.21). Carut marut ini berlangsung di Sungai Rokan, Kubu, serta Panipahan. Maka, aksi balas dendam pun dilakukan. Warga Cina dengan pasukan Cina-nya yang diberi nama Poh An Tui, ganti membunuh warga Indonesia. Pertalian erat antara etnis Cina di Medan, Singapura, dan Malaysia serta suplai senjata memperkuat posisi etnis Cina di Bagansiapiapi. Peristiwa Bagansiapiapi berkecamuk dengan sangat tragis. Nyawa tak lagi berharga di tengah kobaran emosi yang menyala. Dalam kurun waktu yang sangat singkat, sejak Maret hingga September 1946 peristiwa ini telah merenggut kurang lebih 2.500 jiwa warga Indonesia dan etnis Cina.
Konon, representasi etnis Cina di Bagansiapiapi yang melebihi separuh komunitas warga Indonesia menjadi pemicu konflik, di samping kurangnya komunikasi, provokasi, primordialisme, serta tindakan emosional akibat kesalahpahaman (hlm. vi). Tak heran, komposisi penduduk yang tidak seimbang ini menjadikan Bagansiapiapi bagaikan tanah air tersendiri bagi etnis Cina kala itu. Sehingga, ketika bara kemerdekaan tengah membuncah ke dalam jiwa bangsa Indonesia, sikap dan perbuatan warga Cina di Bagansiapiapi justru dianggap melecehkan kemerdekaan dan kedaulatan pemerintah Indonesia (hlm.15).
Peristiwa ini memberi pemahaman kepada kita bahwa warga pribumi di Bagansiapiapi sesungguhnya merasa terasing di negeri sendiri. Berdasarkan data yang dihimpun Sudarno, terungkap bahwa semua pokok perekonomian ada di tangan etnis Cina, mulai dari mata pencaharian sebagai nelayan, petani, kuli, tongkang-tongkang yang ribuan jumlahnya, hingga komponen cerdik pandai (hlm.101). Oleh sebab itu, Sudarno mengungkapkan bahwa komponen masyarakat yang tidak imbang antara warga pribumi dengan etnis Cina di Bagansiapiapi membutuhkan penanganan dan kebijakan khusus. Dalam konteks ini, menjaga harmoni dan harga diri bangsa Indonesia harus dikedepankan. Melalui peristiwa ini, kita dapat memetik makna bahwa simbol dan identitas kesukubangsaan yang bermuara pada etnosentrisme tertentu kerap menyimpan bahaya laten yang siap meledak.
Buku ini menghadirkan fakta-fakta kelam sejarah masa lalu disertai sumber informasi yang cukup akurat. Catatan-catatan sejarah dihimpun dengan lengkap dan rapi. Tanggal dan pelaku sejarah didokumentasikan secara apik dengan bentuk penyajian yang informatif. Buku ini sengaja dihadirkan agar kita tak lagi mengulang sejarah kelam kerusuhan antaretnis, tak lagi menyanjung tinggi identitas kesukuan, tak lagi memandang rendah etnis lain, dan tak lagi merasa terancam dengan kehadiran etnis yang berbeda di lingkungan sosial kita. Setidaknya, peristiwa ini mengingatkan kita pada kerusuhan serupa di Jakarta pada tahun 1998 yang melibatkan warga Indonesia dan etnis Cina.
Buku ini dapat menambah pemahaman bagi masyarakat Indonesia, terutama menyangkut hubungan warga Indonesia dengan etnis Cina. Di dalamnya terselip pesan bahwa sebagai bagian dari masyarakat, kita harus mawas diri, menahan diri, menjaga marwah negeri, serta mengembangkan sikap apresiatif terhadap kebudayaan lain di negeri tercinta ini.
Sebagaimana kata pengantar oleh penerbit dalam buku ini, bahwa dinamika kehidupan, arus budaya, serta keterikatan sebuah suku bangsa menjadi begitu berarti ketika sebuah etnik di ceruk negeri asing terbangkitkan semangat primordialismenya, disebabkan oleh dominasi penduduk dan ekonominya. Kiranya, kaum perantauan juga perlu bercermin dan menjunjung tinggi kebudayaan setempat. Seperti bunyi petuah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Semoga buku ini mampu mengantarkan pembaca pada pemahaman yang lebih arif dalam menyelami fenomena kemajemukan bangsa. Dengan demikian, apresiasi budaya dapat menafikan stereotipe terhadap etnis yang berbeda, sehingga mampu menenggelamkan semangat primordialisme. ***
Oleh : Nanum Sofia (Mahasiswi S2 Psikologi UGM)

 



Bendera-China-Kuomintang.jpg
(INTERNET)
PEKANBARU - Lambatnya diterima kabar Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945, di Jakarta, mengakibatkan terjadi kekosongan kekuasaan (Vacum of Power) di daerah-daerah seluruh Nusantara.
Keterlambatan dan kekosongan kekuasaan inilah kemudian di beberapa daerah di Riau menjadi konflik bersenjata. Pemicunya, orang-orang China ketika itu merasa merekalah yang berhak melanjutkan pemerintahan Jepang di Indonesia.
Bendera Kuomintang dengan matahari putih, memiliki 12 sinar di dalam kotak biru di sebelah kiri atas. Bendera ini digunakan di Tiongkok Daratan hingga 1949, dan sejak 1949 hanya digunakan di negara China Taipei atau Taiwan. Penggunaan di Tiongkok hanya sebatas penggunaan secara sejarah.
Lalu, di daerah mana saja di Riau, berkibarnya bendera China Kuomintang? Kemudian, akibat pengibaran tersebut memicu konflik, bahkan korban jiwa. Berikut kami sajikan untuk Anda, insiden bendera tersebut, datanya kami sarikan dari buku Sejarah Lokal Riau ditulis Guru Besar Sejarah Universitas Riau, Suwardi MS, dan dua rekannya, Kamaruddin dan Asril serta Ahmad Yusuf dkk dalam bukunya Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002 Buku I.
1. Pekanbaru
Kekosongan kekuasaan usai Jepang dinyatakan sebagai pihak yang kalah pada Perang Dunia II, ternyata dimanfaatkan oleh warga China yang berada di Pekanbaru.
Mereka merasa, China termasuk negara anggota Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II di Asia Pasifik dengan mengalahkan Jepang.
Berangkat dari alasan itu, orang-orang China ini kemudian dengan beraninya memasang dan mengibarkan bendera Kuomintang di kedai-kedai, rumah-rumah, warung-warung, tongkang-tongkang, atau pun kapal-kapal mereka, bukan merah putih, seperti warga pribumi lainnya.
"Kapal-kapal atau perahu-perahu milik China tak mau lagi diperiksa oleh duane atau polisi serta tidak singgah di Siak dan kampung-kampung," seperti dituliskan Prof Suwardi MS, dkk di dalam buku berjudul Sejarah Lokal Riau.
Akibatnya, terputuslah hubungan dari satu kampung ke kampung lainnya. Dari peristiwa tersebut, hal menarik munculnya insiden di Pasar Bawah, Pekanbaru, gara-gara orang China menaikkan bendera mereka, bendera Kuomintang.
Kondisi ini semakin diperparah dengan tersebarnya berita dari tawanan Belanda yang bebas, bahwa mereka akan mengambil alih kembali kekuasaan dan akan mengatur Pemerintahan Belanda di Riau.

2. Selat Panjang
Kondisi serupa, pengibaran bendera China, Kuomintang, juga terjadi di Selat Panjang, kini ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti. Usai Jepang menyerahkan kalah, warga China di Selat Panjang bersuka ria mendengar berita kekalahan negeri matahari terbitu tersebut ke tangan Sekutu pimpinan Amerika Serikat.
Selama bulan September 1945, terasa kekosongan kekuasaan usai Jepang dinyatakan kalah, terasa kekosongan pemerintahan di Selat Panjang.
Orang-orang China yang merasa di atas angin kemudian mengeluarkan perkataan-perkataan, "Pemerintah Jepang, polisi Jepangsudah jatuh tak pakai lagi. Kita sudah menang,".
Oleh karena itu, warga China ini dengan congkaknya menyusun barisan dan menjaga keamanan hingga ke luar kota dan Pelabuhan Selat Panjang.
Bendera Merah Putih
"Mereka telah berkeyakinan, China termasuk negara-negara Sekutu yang menang perang. Keyakinan mereka lebih mendalam lagi dan menduga Sumatera nanti menjadi jajahan China," seperti tertulis di buku Sejarah Lokal Riau.
Pada 17 Oktober 1945, warga Selat Panjang yang memiliki kesadaran akan ke-Indonesiaan, mengibarkan dan menaikkan bendera merah putih. Sebelum berkibar, barisan-barisan rakyat berkeliling kota, kemudian baru kembali ke kantor Wedana Selat Panjang.
Sayang, usai barisan bubar, sekitar pukul 11.00 di hari yang sama, merapat dua kapal Inggris di pelabuhan. Seorang opsir turun dari kapal diiringi prajurit bersenjata dan seorang China.
Mereka kemudian berkeliling kota dan mendapati halaman rumah warga sudah berkibar bendera merah putih. Opsir Inggris ini lalu menuju rumah Kapitan China bernama Kang Tjoang Pa, dan rombongan telah disambut dengan jamuan makan dan minum dari tuan rumah.
Usai itu, datang perwakilan orang-orang China ke kantor wedana untuk menemui Mas Slamet. Ketika itu, Mas Slamet masih duduk bersama anggota Badan Aksi Kemerdekaan. Utusan itu sampaikan, Opsir Inggris ingin ketemu.
Lalu, disepakati, Mas Slamet menerima undangan tersebut dan melangkah menuju rumah kapitan China itu, Di sana, Opsir Inggris ini mengajak Mas Slamet menaiki kapal mereka di pelabuhan.
Di atas kapal, Mas Slamet ditanyakan mengenai pemerintahan dan siapa sedang berkuasa. Mas Slamet menjawab, pemerintahan di Selat Panjang sudah ada, yaitu Pemerintahan Republik Indonesia dengan pusat Kerasidenan di Pekanbaru dan A Malik sebagai residen Riau.
Selama Mas Slamet di atas kapal Inggris, warga pribumi dan China Selat Panjang berkumpul di sekitar pelabuhan dan jalan besar, mulai di depan tao pa kong hingga ke rumah Kang Tjoang Pa. Penduduk China waktu itu mengatakan, Mas Slamet pasti dibawa tentara Inggris.
Dugaan itu ternyata meleset, Mas Slamet keluar dari kapan dan menemui teman-teman seperjuangannya. Kesimpulannya, jika hari itu, 17 Oktober 1945, tak dikibarkan dan dinaikan bendera Merah Putih, maka dipastikan Inggris yang membonceng Belanda akan membuat pemerintahan baru di Selat Panjang. Tentu pemerintahan tersebut didukung penuh oleh pendudukan China yang merasa negaranya telah menang perang melawan Jepang.

3. Bagansiapi-api
Akhir Agustus 1945, di Bagansiapi-api telah beredar berita tentang Proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Berita ini dibawa oleh orang-orang yang berdatangan dari Medan, Pekanbaru dan Payakumbuh.
Pembawa berita itu antara lain M Idrus, Nahar Siddik, Boengsu, A Karim Said, dan lain-lain. Ini diiringi dengan pengibaran bendera merah putih di Kantor Pos (PTT) Bagansiapi-api oleh M Daud dan M Nur, dua pegawai PTT.
Dengan berkibarnya bendera Merah Putih ini, orang-orang China yang ada di Bagansiapi-api juga ikut-ikutan mengibarkan bendera Kuomintang di setiap kedai, dan rumah mereka.
"Orang China mengatakan, nanti yang akan mengoper pemerintah Jepang adalah tentara China, karena China negara anggota Sekutu, pemenang perang kalahkan Jepang," seperti tertulis dalam buku Sejarah Lokal Riau ditulis Suwardi MS dan dua rekan lainnya.
Berkibarnya bendera Kuomintang China ini ternyata membakar emosi dan kemarahan pemuda di Bagansiapi-api. Mereka menentang perbuatan tersebut. Kemarahan para pemuda ini dapat disabarkan oleh tokoh tua, seperti BA Muchtar dan Dulah Usman.
Tak hanya di Bagansiapi-api saja terjadi insiden pengibaran bendera. Di Kubu, orang-orang China ternyata sudah terlebih dahulu mengibarkan bendera mereka Kuomintang, dibandingkan merah putih.
Rakyat serentak menurunkan bendera tersebut dan mengibarkan sang saka Merah Putih di kantor Camat Kubu, 1 Januari 1946. Semula ada kesepakatan dengan pihak China Kuomintang, boleh mengibarkan bendera Bintang Dua Belas (Cap Ji Kak) milik mereka, namun berdampingan dengan bendera Merah Putih.
Sayangnya, kesepakatan itu diingkari mereka dengan tetap mengibarkan bendera Kuomintang tanpa Merah Putih. Ini jelas menyinggung dan membuat emos para pemuda tang tergabung di di BKR darat dan Laut.
Ahmad Yusuf dkk dalam bukunya Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002 Buku I, menceritakan insiden penurunan disertai perobekan bendera Kuomintang oleh pemuda.
Peristiwa ini membuat Bagansiapi-api mencekam, masing-masing pihak berada di tempatnya. Orang China terkonsentrasi di Bagan Kota (Jalan Perdagangan dan Perniagaan sekarang hingga pelabuhan).
Dengab demikian mereka menguasai pusat kota dan pintu pelabuhan arah ke laut (Pulau Lalng dan Selat Malaka). Sedangkan pihak Indonesia terkonsentrasi di pinggir kota arah ke darat kemudian dikenal saat ini dengan Jalan Pahlawan dan sekitarnya, Bagan Jawa dan Bagan Punak.
Pengibaran bendera Kuomintang inilah kemudian dikenal dengan Peristiwa Bagansiapi-api I dipicu tewasnya Kapitan China akibat pengibaran bendera Kuomintang di rumah-rumah orang China tanpa didampingi bendera Merah Putih. Peristiwa berdarah Bagansiapi-api I ini dikemudian disusul Bagansiapi-api II beberapa bulan kemudian.





Ilustrasi. (Foto : nightlife-cityguide.com)
Ilustrasi. (Foto : nightlife-cityguide.com)
bacodulu.site – Sehari jelang ‘Fathu Al-Qustantiniyyah‘ sebuah refleksi Penaklukkan Konstantinopel oleh seorang anak muda yang kemudian merubah putaran roda sejarah dan tentunya dilandasi inspirasi Rabbani lewat pembenaran dan keyakinan akan pesan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam 800 tahun sebelumnya.
Hari-hari belakangan dalam revolusi dunia digital yang dipaparkan pada kita memberi manfaat serta peluang positif bagi mengasah visi dan kemampuan pemuda-pemudi muslim bagi menengok kembali secara presisi putaran roda sejarah kejayaan Islam beberapa abad lepas. Lewat sosok pemuda Al Fatih, begitu kuat terekam 50 hari istimewa yang menggambarkan suasana batin, di mana ketegangan yang mencekam, energi batin yang begitu terkuras, ditambah celah-celah pengkhianatan serta keletihan fisik dan mental bercampur dengan keyakinan rabbani dan kepiawaian mengatasi keterbatasan sekaligus, hingga dituntaskan lewat karunia Allah Ta’ala dalam episode membanggakan berupa penaklukkan Konstantinopel 1453 M.
Suatu episode yang begitu kokoh dalam memperlihatkan korelasi agenda/proyeksi antar generasi orang-orang mukmin dalam mewarisi sekaligus mengemban risalah kenabian. Bahkan, semua dimulai oleh suasana penuh pesimisme, ketidakpastian bahkan ancaman kepunahan peradaban Islam saat terkepung semua penjuru mata angin.
Di Khandaq itulah juga hadis tentang pembebasan kota Konstantinopel dikumandangkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Bisakah kita membayangkan ketika koalisi musuh yang demikian besar dan diliputi angkara murka bersiap menerkam dan melumat ‘komunitas kecil’ bernama kaum muslimin? Rasulullah dengan lantang menjanjikan akan datangnya masa ketundukan musuh yang jauh lebih besar. Menurut baginda Rasul, bukan hanya saja kafir musyrikin dari bangsa Arab itu akan dikalahkan, malah ”Super Power” imperium Romawi Timur Byzantium yang tersohor saat itu akan dikalahkan.Ketika para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dihimpit kelaparan, pengepungan koalisi musuh yang demikian besar dan canggih, hanya mampu dijawab dengan ikhtiar penggalian parit (sesuatu yang asing saat itu) bagi menyongsong perang Khandaq, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hanya menjanjikan surga dan pengampunan bagi Muhajirin dan Anshar, tidak lebih. Namun, justru cita-cita untuk menggapai keindahan di kampung akhirat juga kondisi kehidupan yang lebih baik dan kekal menyebabkan para sahabat rela mengorbankan nikmat dunia yang sedikit dan sementara (dengan tidak memilih menjauh dari perang).
Berikut ini Al-Bara’ menegaskan,
“Ketika perang Khandaq, kami menemukan sebuah batu besar yang keras di salah satu parit yang tidak bisa dipecahkan dengan cangkul. Lalu kami mengadukan hal itu kepada Rasulullah. Maka beliau pun datang sambil membawa cangkul kemudian mengucapkan, “Bismillah.” Selanjutnya langsung memukul batu itu dengan sekali pukulan. Kemudian mengucapkan, “Allahu Akbar, telah diberikan kepadaku kunci-kunci kerajaan Syam. Demi Allah, saat ini aku benar-benar melihat istana-istananya yang (penuh dengan gemerlapan).”
Kemudian beliau memukul tanah itu untuk yang kedua kalinya. Maka terpecahlah sisi yang lainnya. Lalu beliau pun bersabda, “Allahu Akbar, telah diberikan kepadaku negeri Persia. Demi Allah, aku benar-benar melihat istana kerajaannya yang penuh dengan gemerlapan sekarang ini.”
Itulah cita-cita besar yang dikumandangkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, untuk menyalakan roh jihad pada diri-diri sahabat. Dampaknya; kelaparan, ketakutan, dan kebimbangan dapat ’dikalahkan’ karena jiwa-jiwa perindu syahid itu sudah penuh terisi dengan keyakinan yang menggelora tinggi. Namun, ketahuilah sabda sang Rasul bukanlah angan-angan kosong atau imajinasi/utopis yang bersifat ilusi konyol dari mereka-mereka yang menghadapi detik-detik kematian, tetapi beliau ialah Shadiq Al Mashduq (benar lagi dibenarkan). 800 tahun kemudian, Sultan Muhammad Al Fatih, seorang pemimpin muda Islam yang cerdas dan piawai tampil membuktikan hadits tersebut.Lantas beliau memukul tanah itu untuk yang ketiga kalinya seraya mengucapkan, “Allahu Akbar.” Maka terpecahlah bagian yang tersisa dari batu itu. Kemudian beliau bersabda, “Allahu Akbar, aku benar-benar diberi kunci-kunci kerajaan Yaman. Demi Allah, aku benar-benar melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku ini.” (Al-Mubarakfuri, 2005).
Dalam sebuah riwayat disebutkan,
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْمَدِينَتَيْنِ تُفْتَحُ أَوَّلاً قُسْطَنْطِينِيَّةُ أَوْ رُومِيَّةُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلاً يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. pernah ditanya, “Kota manakah yang dibebaskan lebih dulu, Konstantinopel atau Roma?” Rasul menjawab, “Kotanya Heraklius dibebaskan lebih dulu, yaitu Konstantinopel.” (HR Ahmad, Ad Darimi dan Al Hakim)
Demikianlah kisah heroik yang selalu menjadi energi tak berujung juga keyakinan para pejuang Islam sepanjang zaman. Sementara itu patut dicamkan bahwa orang yang hebat bukan hanya saja mengakui kebenaran hadits tersebut, namun ia akan berusaha sangat keras dan gigih untuk menjadi mereka-mereka yang mewujudkan kebenarannya.
Inilah yang dilakukan para pemimpin Islam masa lalu bermula dari Muawiyah, diikuti oleh anaknya Yazid, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, Harun Al Rasyid, Alp Arslan, Sultan Beyazid, dan akhirnya kebenaran hadits tentang pembebasan konstantinopel terwujud ditangan pemuda bergelar Al Fatih.
Sultan Muhammad Al Fatih dengan gemilang dan mengharu biru mewujudkan hadits yang dimaksud dikarenakan beliau mempunyai keinginan yang membara dan sanggup ’membayar harga’ untuk menggapai cita-cita dan inspirasi pesan Nabi.
Hati, akal, perasaan dan potensi fisik dan ruhiyah sang ’Prajurit malam’ difokuskan untuk menjadi pemimpin Inspiratif sebagaimana sabda Nabi, “Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan, dan sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin pasukan (yang menaklukannya) itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu.”
Patut diketahui, penggunaan teknologi tercanggih di bidang Metalurgi khususnya melalui ‘Fatih Canon’ sejenis ‘Meriam Howitzer’ masa kini dalam penyerbuan konstantinopel di masa tersebut membuktikan seorang Al Fatih adalah sosok yang tidak ‘Gaptek.’ Lewat kecerdasan spiritual yang dimilikinya terdapat kecerdasan lainnya seperti kecerdasan ‘terobosan’ strategi dan taktik pertempuran, kepiawaian mengelola potensi justru dari pihak ‘lawan’ dan pastinya penguasaan bahasa asing, aspek sosiologis dan budaya kawasan Romawi tersebut.
Dalam momentum 29 Mei ini, mari kita teladani jiwa, keberanian dan kesungguhan sang pembebas muda bernama Al Fatih, sebagai pribadi yang wajar namun mampu menjadi ’icon’ dalam memimpin diri dan orang lain. Mari kita susuri rahasia tersirat di balik sejarah kemenangannya. Bukan sekadar membaca fakta dan data, tetapi untuk dijiwai semangat pengorbanan di mana ia kemudian menjadi roh kebangkitan pemuda Islam.
Sebuah penaklukkan yang gemilang sebagaimana selalu dikenang setiap 29 Mei. Mungkin, hal ini pula mengakibatkan Turki modern saat ini sangat sulit dan berbelit untuk bergabung dengan Eropa. Kronologi lengkap 50 hari istimewa bisa ditelusuri di sini.
Sekali lagi, MARI LURUS & RAPATKAN SHAFF KITA.
Sungguh luruskanlah shaf kalian, atau (jika tidak) Allah akan benar-benar menimbulkan perselisihan di antara wajah-wajah kalian.” (HR Al Bukhari [177] dan Muslim [436])
Dr. Askar Triwiyanto, ST, MSc. Mat.
======
Sumber : majelis qurani

Mengenang Torehan Luka Bagansiapiapi

Mengenang Torehan Luka BagansiapiapiResensi buku
Judul Buku : Gema ProklamasiKemerdekaan RI dalam Peristiwa Bagansiapiapi
Penulis : Sudarno Mahyudin
Penerbit : Adicita, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2006
Tebal : xv + 106 halaman
Kemerdekaan Indonesia senantiasa diikuti oleh beragam peristiwa bersejarah. Peristiwa bersejarah tersebut merupakan rekam cetak historis yang ditorehkan oleh semangat perjuangan bangsa yang penuh luka-luka. Tak hanya pertempuran-pertempuran politik yang terus bergolak, bahkan konflik antarsuku ternyata juga turut mengharu-biru dalam proses perjuangan bangsa Indonesia. Kemajemukan suku bangsa di Indonesia, yang sejatinya menjadi penguat budaya, berbalik menjadi bumerang karena semangat primordialisme sempit yang sarat muatan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Setidaknya itulah yang mewarnai peristiwa Bagansiapiapi di ranah Melayu pada tahun 1946, yang telah menorehkan kisah memilukan bagi Riau Daratan, terutama warga pribumi dan etnis Cina.
Soedarno Mahyudin, penulis buku ini, sengaja menghadirkan buku ini dalam rangka mengenang kembali tragedi Bagansiapiapi sebagai upaya pembelajaran bagi segenap elemen bangsa Indonesia agar dapat mengapresiasi budaya dari etnis yang berbeda di wilayah masing-masing, khususnya terhadap etnis Cina. Peluncuran buku ini, setidaknya menjadi titik tolak adanya saling pengertian dan harapan agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Bagansiapiapi merupakan wilayah yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Kala itu, Belanda menyebutnya sebagai Een China in Oost Indie. Hal itu disebabkan komposisi penduduknya yang didominasi oleh etnis Cina. Etnis Cina di Bagansiapiapi dikenal sebagai representasi entitas budaya yang berbeda dengan orang-orang Cina dari wilayah lain. Selain karena keuletannya dan kegigihannya, semangat chauvinisme juga melekat erat dalam sanubari mereka. Sebetulnya, berapapun jumlah warga etnis tertentu di wilayah Indonesia bukan sebuah risiko. Kerentanan konflik hanya akan terjadi bila suatu etnis menyanjung primordialisme sempit sehingga merendahkan etnis lain. Dan, inilah yang terjadi di Bagansiapiapi.
Meletusnya peristiwa Bagansiapiapi I yang dikenal sebagai ‘peristiwa bendera‘, dipicu oleh tersumbatnya komunikasi antara warga pribumi dengan etnis Cina yang kala itu mengibarkan bendera Kuo Min Tang tanpa didampingi bendera merah putih, simbol identitas negara Indonesia yang baru saja merdeka. Kondisi ini menjadikan masyarakat pribumi khususnya Melayu, merasa terinjak-injak harga dirinya. Terlebih, permintaan penurunan bendera diabaikan oleh warga Cina. Pertikaian ini berakhir dengan tewasnya Kapitan Lu Cin Po, pemimpin warga Cina. Sayangnya, sejarah kelam tak berhenti di sini. Rentetan peristiwa terus berlanjut hingga menimbulkan peristiwa Bagansiapiapi II yang lebih dahsyat, yang dikenal dengan peristiwa ‘tentara jambang‘.
Rekaman sejarah menyebutkan bahwa tentara jambang merupakan satuan komponen tentara desersi (tentara yang membelot dari tugas). Dalam peristiwa ini, tentara jambang mengurung anak-anak dan perempuan, merampas harta benda, bahkan memperkosa gadis-gadis Cina di desa pantai Panipahan (hlm.21). Carut marut ini berlangsung di Sungai Rokan, Kubu, serta Panipahan. Maka, aksi balas dendam pun dilakukan. Warga Cina dengan pasukan Cina-nya yang diberi nama Poh An Tui, ganti membunuh warga Indonesia. Pertalian erat antara etnis Cina di Medan, Singapura, dan Malaysia serta suplai senjata memperkuat posisi etnis Cina di Bagansiapiapi. Peristiwa Bagansiapiapi berkecamuk dengan sangat tragis. Nyawa tak lagi berharga di tengah kobaran emosi yang menyala. Dalam kurun waktu yang sangat singkat, sejak Maret hingga September 1946 peristiwa ini telah merenggut kurang lebih 2.500 jiwa warga Indonesia dan etnis Cina.
Konon, representasi etnis Cina di Bagansiapiapi yang melebihi separuh komunitas warga Indonesia menjadi pemicu konflik, di samping kurangnya komunikasi, provokasi, primordialisme, serta tindakan emosional akibat kesalahpahaman (hlm. vi). Tak heran, komposisi penduduk yang tidak seimbang ini menjadikan Bagansiapiapi bagaikan tanah air tersendiri bagi etnis Cina kala itu. Sehingga, ketika bara kemerdekaan tengah membuncah ke dalam jiwa bangsa Indonesia, sikap dan perbuatan warga Cina di Bagansiapiapi justru dianggap melecehkan kemerdekaan dan kedaulatan pemerintah Indonesia (hlm.15).
Peristiwa ini memberi pemahaman kepada kita bahwa warga pribumi di Bagansiapiapi sesungguhnya merasa terasing di negeri sendiri. Berdasarkan data yang dihimpun Sudarno, terungkap bahwa semua pokok perekonomian ada di tangan etnis Cina, mulai dari mata pencaharian sebagai nelayan, petani, kuli, tongkang-tongkang yang ribuan jumlahnya, hingga komponen cerdik pandai (hlm.101). Oleh sebab itu, Sudarno mengungkapkan bahwa komponen masyarakat yang tidak imbang antara warga pribumi dengan etnis Cina di Bagansiapiapi membutuhkan penanganan dan kebijakan khusus. Dalam konteks ini, menjaga harmoni dan harga diri bangsa Indonesia harus dikedepankan. Melalui peristiwa ini, kita dapat memetik makna bahwa simbol dan identitas kesukubangsaan yang bermuara pada etnosentrisme tertentu kerap menyimpan bahaya laten yang siap meledak.
Buku ini menghadirkan fakta-fakta kelam sejarah masa lalu disertai sumber informasi yang cukup akurat. Catatan-catatan sejarah dihimpun dengan lengkap dan rapi. Tanggal dan pelaku sejarah didokumentasikan secara apik dengan bentuk penyajian yang informatif. Buku ini sengaja dihadirkan agar kita tak lagi mengulang sejarah kelam kerusuhan antaretnis, tak lagi menyanjung tinggi identitas kesukuan, tak lagi memandang rendah etnis lain, dan tak lagi merasa terancam dengan kehadiran etnis yang berbeda di lingkungan sosial kita. Setidaknya, peristiwa ini mengingatkan kita pada kerusuhan serupa di Jakarta pada tahun 1998 yang melibatkan warga Indonesia dan etnis Cina.
Buku ini dapat menambah pemahaman bagi masyarakat Indonesia, terutama menyangkut hubungan warga Indonesia dengan etnis Cina. Di dalamnya terselip pesan bahwa sebagai bagian dari masyarakat, kita harus mawas diri, menahan diri, menjaga marwah negeri, serta mengembangkan sikap apresiatif terhadap kebudayaan lain di negeri tercinta ini.
Sebagaimana kata pengantar oleh penerbit dalam buku ini, bahwa dinamika kehidupan, arus budaya, serta keterikatan sebuah suku bangsa menjadi begitu berarti ketika sebuah etnik di ceruk negeri asing terbangkitkan semangat primordialismenya, disebabkan oleh dominasi penduduk dan ekonominya. Kiranya, kaum perantauan juga perlu bercermin dan menjunjung tinggi kebudayaan setempat. Seperti bunyi petuah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Semoga buku ini mampu mengantarkan pembaca pada pemahaman yang lebih arif dalam menyelami fenomena kemajemukan bangsa. Dengan demikian, apresiasi budaya dapat menafikan stereotipe terhadap etnis yang berbeda, sehingga mampu menenggelamkan semangat primordialisme. ***
Oleh : Nanum Sofia (Mahasiswi S2 Psikologi UGM)

 



Bendera-China-Kuomintang.jpg
(INTERNET)
PEKANBARU - Lambatnya diterima kabar Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945, di Jakarta, mengakibatkan terjadi kekosongan kekuasaan (Vacum of Power) di daerah-daerah seluruh Nusantara.
Keterlambatan dan kekosongan kekuasaan inilah kemudian di beberapa daerah di Riau menjadi konflik bersenjata. Pemicunya, orang-orang China ketika itu merasa merekalah yang berhak melanjutkan pemerintahan Jepang di Indonesia.
Bendera Kuomintang dengan matahari putih, memiliki 12 sinar di dalam kotak biru di sebelah kiri atas. Bendera ini digunakan di Tiongkok Daratan hingga 1949, dan sejak 1949 hanya digunakan di negara China Taipei atau Taiwan. Penggunaan di Tiongkok hanya sebatas penggunaan secara sejarah.
Lalu, di daerah mana saja di Riau, berkibarnya bendera China Kuomintang? Kemudian, akibat pengibaran tersebut memicu konflik, bahkan korban jiwa. Berikut kami sajikan untuk Anda, insiden bendera tersebut, datanya kami sarikan dari buku Sejarah Lokal Riau ditulis Guru Besar Sejarah Universitas Riau, Suwardi MS, dan dua rekannya, Kamaruddin dan Asril serta Ahmad Yusuf dkk dalam bukunya Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002 Buku I.
1. Pekanbaru
Kekosongan kekuasaan usai Jepang dinyatakan sebagai pihak yang kalah pada Perang Dunia II, ternyata dimanfaatkan oleh warga China yang berada di Pekanbaru.
Mereka merasa, China termasuk negara anggota Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II di Asia Pasifik dengan mengalahkan Jepang.
Berangkat dari alasan itu, orang-orang China ini kemudian dengan beraninya memasang dan mengibarkan bendera Kuomintang di kedai-kedai, rumah-rumah, warung-warung, tongkang-tongkang, atau pun kapal-kapal mereka, bukan merah putih, seperti warga pribumi lainnya.
"Kapal-kapal atau perahu-perahu milik China tak mau lagi diperiksa oleh duane atau polisi serta tidak singgah di Siak dan kampung-kampung," seperti dituliskan Prof Suwardi MS, dkk di dalam buku berjudul Sejarah Lokal Riau.
Akibatnya, terputuslah hubungan dari satu kampung ke kampung lainnya. Dari peristiwa tersebut, hal menarik munculnya insiden di Pasar Bawah, Pekanbaru, gara-gara orang China menaikkan bendera mereka, bendera Kuomintang.
Kondisi ini semakin diperparah dengan tersebarnya berita dari tawanan Belanda yang bebas, bahwa mereka akan mengambil alih kembali kekuasaan dan akan mengatur Pemerintahan Belanda di Riau.

2. Selat Panjang
Kondisi serupa, pengibaran bendera China, Kuomintang, juga terjadi di Selat Panjang, kini ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti. Usai Jepang menyerahkan kalah, warga China di Selat Panjang bersuka ria mendengar berita kekalahan negeri matahari terbitu tersebut ke tangan Sekutu pimpinan Amerika Serikat.
Selama bulan September 1945, terasa kekosongan kekuasaan usai Jepang dinyatakan kalah, terasa kekosongan pemerintahan di Selat Panjang.
Orang-orang China yang merasa di atas angin kemudian mengeluarkan perkataan-perkataan, "Pemerintah Jepang, polisi Jepangsudah jatuh tak pakai lagi. Kita sudah menang,".
Oleh karena itu, warga China ini dengan congkaknya menyusun barisan dan menjaga keamanan hingga ke luar kota dan Pelabuhan Selat Panjang.
Bendera Merah Putih
"Mereka telah berkeyakinan, China termasuk negara-negara Sekutu yang menang perang. Keyakinan mereka lebih mendalam lagi dan menduga Sumatera nanti menjadi jajahan China," seperti tertulis di buku Sejarah Lokal Riau.
Pada 17 Oktober 1945, warga Selat Panjang yang memiliki kesadaran akan ke-Indonesiaan, mengibarkan dan menaikkan bendera merah putih. Sebelum berkibar, barisan-barisan rakyat berkeliling kota, kemudian baru kembali ke kantor Wedana Selat Panjang.
Sayang, usai barisan bubar, sekitar pukul 11.00 di hari yang sama, merapat dua kapal Inggris di pelabuhan. Seorang opsir turun dari kapal diiringi prajurit bersenjata dan seorang China.
Mereka kemudian berkeliling kota dan mendapati halaman rumah warga sudah berkibar bendera merah putih. Opsir Inggris ini lalu menuju rumah Kapitan China bernama Kang Tjoang Pa, dan rombongan telah disambut dengan jamuan makan dan minum dari tuan rumah.
Usai itu, datang perwakilan orang-orang China ke kantor wedana untuk menemui Mas Slamet. Ketika itu, Mas Slamet masih duduk bersama anggota Badan Aksi Kemerdekaan. Utusan itu sampaikan, Opsir Inggris ingin ketemu.
Lalu, disepakati, Mas Slamet menerima undangan tersebut dan melangkah menuju rumah kapitan China itu, Di sana, Opsir Inggris ini mengajak Mas Slamet menaiki kapal mereka di pelabuhan.
Di atas kapal, Mas Slamet ditanyakan mengenai pemerintahan dan siapa sedang berkuasa. Mas Slamet menjawab, pemerintahan di Selat Panjang sudah ada, yaitu Pemerintahan Republik Indonesia dengan pusat Kerasidenan di Pekanbaru dan A Malik sebagai residen Riau.
Selama Mas Slamet di atas kapal Inggris, warga pribumi dan China Selat Panjang berkumpul di sekitar pelabuhan dan jalan besar, mulai di depan tao pa kong hingga ke rumah Kang Tjoang Pa. Penduduk China waktu itu mengatakan, Mas Slamet pasti dibawa tentara Inggris.
Dugaan itu ternyata meleset, Mas Slamet keluar dari kapan dan menemui teman-teman seperjuangannya. Kesimpulannya, jika hari itu, 17 Oktober 1945, tak dikibarkan dan dinaikan bendera Merah Putih, maka dipastikan Inggris yang membonceng Belanda akan membuat pemerintahan baru di Selat Panjang. Tentu pemerintahan tersebut didukung penuh oleh pendudukan China yang merasa negaranya telah menang perang melawan Jepang.

3. Bagansiapi-api
Akhir Agustus 1945, di Bagansiapi-api telah beredar berita tentang Proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Berita ini dibawa oleh orang-orang yang berdatangan dari Medan, Pekanbaru dan Payakumbuh.
Pembawa berita itu antara lain M Idrus, Nahar Siddik, Boengsu, A Karim Said, dan lain-lain. Ini diiringi dengan pengibaran bendera merah putih di Kantor Pos (PTT) Bagansiapi-api oleh M Daud dan M Nur, dua pegawai PTT.
Dengan berkibarnya bendera Merah Putih ini, orang-orang China yang ada di Bagansiapi-api juga ikut-ikutan mengibarkan bendera Kuomintang di setiap kedai, dan rumah mereka.
"Orang China mengatakan, nanti yang akan mengoper pemerintah Jepang adalah tentara China, karena China negara anggota Sekutu, pemenang perang kalahkan Jepang," seperti tertulis dalam buku Sejarah Lokal Riau ditulis Suwardi MS dan dua rekan lainnya.
Berkibarnya bendera Kuomintang China ini ternyata membakar emosi dan kemarahan pemuda di Bagansiapi-api. Mereka menentang perbuatan tersebut. Kemarahan para pemuda ini dapat disabarkan oleh tokoh tua, seperti BA Muchtar dan Dulah Usman.
Tak hanya di Bagansiapi-api saja terjadi insiden pengibaran bendera. Di Kubu, orang-orang China ternyata sudah terlebih dahulu mengibarkan bendera mereka Kuomintang, dibandingkan merah putih.
Rakyat serentak menurunkan bendera tersebut dan mengibarkan sang saka Merah Putih di kantor Camat Kubu, 1 Januari 1946. Semula ada kesepakatan dengan pihak China Kuomintang, boleh mengibarkan bendera Bintang Dua Belas (Cap Ji Kak) milik mereka, namun berdampingan dengan bendera Merah Putih.
Sayangnya, kesepakatan itu diingkari mereka dengan tetap mengibarkan bendera Kuomintang tanpa Merah Putih. Ini jelas menyinggung dan membuat emos para pemuda tang tergabung di di BKR darat dan Laut.
Ahmad Yusuf dkk dalam bukunya Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002 Buku I, menceritakan insiden penurunan disertai perobekan bendera Kuomintang oleh pemuda.
Peristiwa ini membuat Bagansiapi-api mencekam, masing-masing pihak berada di tempatnya. Orang China terkonsentrasi di Bagan Kota (Jalan Perdagangan dan Perniagaan sekarang hingga pelabuhan).
Dengab demikian mereka menguasai pusat kota dan pintu pelabuhan arah ke laut (Pulau Lalng dan Selat Malaka). Sedangkan pihak Indonesia terkonsentrasi di pinggir kota arah ke darat kemudian dikenal saat ini dengan Jalan Pahlawan dan sekitarnya, Bagan Jawa dan Bagan Punak.
Pengibaran bendera Kuomintang inilah kemudian dikenal dengan Peristiwa Bagansiapi-api I dipicu tewasnya Kapitan China akibat pengibaran bendera Kuomintang di rumah-rumah orang China tanpa didampingi bendera Merah Putih. Peristiwa berdarah Bagansiapi-api I ini dikemudian disusul Bagansiapi-api II beberapa bulan kemudian.





Ilustrasi. (Foto : nightlife-cityguide.com)
Ilustrasi. (Foto : nightlife-cityguide.com)
bacodulu.site – Sehari jelang ‘Fathu Al-Qustantiniyyah‘ sebuah refleksi Penaklukkan Konstantinopel oleh seorang anak muda yang kemudian merubah putaran roda sejarah dan tentunya dilandasi inspirasi Rabbani lewat pembenaran dan keyakinan akan pesan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam 800 tahun sebelumnya.
Hari-hari belakangan dalam revolusi dunia digital yang dipaparkan pada kita memberi manfaat serta peluang positif bagi mengasah visi dan kemampuan pemuda-pemudi muslim bagi menengok kembali secara presisi putaran roda sejarah kejayaan Islam beberapa abad lepas. Lewat sosok pemuda Al Fatih, begitu kuat terekam 50 hari istimewa yang menggambarkan suasana batin, di mana ketegangan yang mencekam, energi batin yang begitu terkuras, ditambah celah-celah pengkhianatan serta keletihan fisik dan mental bercampur dengan keyakinan rabbani dan kepiawaian mengatasi keterbatasan sekaligus, hingga dituntaskan lewat karunia Allah Ta’ala dalam episode membanggakan berupa penaklukkan Konstantinopel 1453 M.
Suatu episode yang begitu kokoh dalam memperlihatkan korelasi agenda/proyeksi antar generasi orang-orang mukmin dalam mewarisi sekaligus mengemban risalah kenabian. Bahkan, semua dimulai oleh suasana penuh pesimisme, ketidakpastian bahkan ancaman kepunahan peradaban Islam saat terkepung semua penjuru mata angin.
Di Khandaq itulah juga hadis tentang pembebasan kota Konstantinopel dikumandangkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Bisakah kita membayangkan ketika koalisi musuh yang demikian besar dan diliputi angkara murka bersiap menerkam dan melumat ‘komunitas kecil’ bernama kaum muslimin? Rasulullah dengan lantang menjanjikan akan datangnya masa ketundukan musuh yang jauh lebih besar. Menurut baginda Rasul, bukan hanya saja kafir musyrikin dari bangsa Arab itu akan dikalahkan, malah ”Super Power” imperium Romawi Timur Byzantium yang tersohor saat itu akan dikalahkan.Ketika para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dihimpit kelaparan, pengepungan koalisi musuh yang demikian besar dan canggih, hanya mampu dijawab dengan ikhtiar penggalian parit (sesuatu yang asing saat itu) bagi menyongsong perang Khandaq, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hanya menjanjikan surga dan pengampunan bagi Muhajirin dan Anshar, tidak lebih. Namun, justru cita-cita untuk menggapai keindahan di kampung akhirat juga kondisi kehidupan yang lebih baik dan kekal menyebabkan para sahabat rela mengorbankan nikmat dunia yang sedikit dan sementara (dengan tidak memilih menjauh dari perang).
Berikut ini Al-Bara’ menegaskan,
“Ketika perang Khandaq, kami menemukan sebuah batu besar yang keras di salah satu parit yang tidak bisa dipecahkan dengan cangkul. Lalu kami mengadukan hal itu kepada Rasulullah. Maka beliau pun datang sambil membawa cangkul kemudian mengucapkan, “Bismillah.” Selanjutnya langsung memukul batu itu dengan sekali pukulan. Kemudian mengucapkan, “Allahu Akbar, telah diberikan kepadaku kunci-kunci kerajaan Syam. Demi Allah, saat ini aku benar-benar melihat istana-istananya yang (penuh dengan gemerlapan).”
Kemudian beliau memukul tanah itu untuk yang kedua kalinya. Maka terpecahlah sisi yang lainnya. Lalu beliau pun bersabda, “Allahu Akbar, telah diberikan kepadaku negeri Persia. Demi Allah, aku benar-benar melihat istana kerajaannya yang penuh dengan gemerlapan sekarang ini.”
Itulah cita-cita besar yang dikumandangkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, untuk menyalakan roh jihad pada diri-diri sahabat. Dampaknya; kelaparan, ketakutan, dan kebimbangan dapat ’dikalahkan’ karena jiwa-jiwa perindu syahid itu sudah penuh terisi dengan keyakinan yang menggelora tinggi. Namun, ketahuilah sabda sang Rasul bukanlah angan-angan kosong atau imajinasi/utopis yang bersifat ilusi konyol dari mereka-mereka yang menghadapi detik-detik kematian, tetapi beliau ialah Shadiq Al Mashduq (benar lagi dibenarkan). 800 tahun kemudian, Sultan Muhammad Al Fatih, seorang pemimpin muda Islam yang cerdas dan piawai tampil membuktikan hadits tersebut.Lantas beliau memukul tanah itu untuk yang ketiga kalinya seraya mengucapkan, “Allahu Akbar.” Maka terpecahlah bagian yang tersisa dari batu itu. Kemudian beliau bersabda, “Allahu Akbar, aku benar-benar diberi kunci-kunci kerajaan Yaman. Demi Allah, aku benar-benar melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku ini.” (Al-Mubarakfuri, 2005).
Dalam sebuah riwayat disebutkan,
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْمَدِينَتَيْنِ تُفْتَحُ أَوَّلاً قُسْطَنْطِينِيَّةُ أَوْ رُومِيَّةُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلاً يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. pernah ditanya, “Kota manakah yang dibebaskan lebih dulu, Konstantinopel atau Roma?” Rasul menjawab, “Kotanya Heraklius dibebaskan lebih dulu, yaitu Konstantinopel.” (HR Ahmad, Ad Darimi dan Al Hakim)
Demikianlah kisah heroik yang selalu menjadi energi tak berujung juga keyakinan para pejuang Islam sepanjang zaman. Sementara itu patut dicamkan bahwa orang yang hebat bukan hanya saja mengakui kebenaran hadits tersebut, namun ia akan berusaha sangat keras dan gigih untuk menjadi mereka-mereka yang mewujudkan kebenarannya.
Inilah yang dilakukan para pemimpin Islam masa lalu bermula dari Muawiyah, diikuti oleh anaknya Yazid, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, Harun Al Rasyid, Alp Arslan, Sultan Beyazid, dan akhirnya kebenaran hadits tentang pembebasan konstantinopel terwujud ditangan pemuda bergelar Al Fatih.
Sultan Muhammad Al Fatih dengan gemilang dan mengharu biru mewujudkan hadits yang dimaksud dikarenakan beliau mempunyai keinginan yang membara dan sanggup ’membayar harga’ untuk menggapai cita-cita dan inspirasi pesan Nabi.
Hati, akal, perasaan dan potensi fisik dan ruhiyah sang ’Prajurit malam’ difokuskan untuk menjadi pemimpin Inspiratif sebagaimana sabda Nabi, “Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan, dan sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin pasukan (yang menaklukannya) itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu.”
Patut diketahui, penggunaan teknologi tercanggih di bidang Metalurgi khususnya melalui ‘Fatih Canon’ sejenis ‘Meriam Howitzer’ masa kini dalam penyerbuan konstantinopel di masa tersebut membuktikan seorang Al Fatih adalah sosok yang tidak ‘Gaptek.’ Lewat kecerdasan spiritual yang dimilikinya terdapat kecerdasan lainnya seperti kecerdasan ‘terobosan’ strategi dan taktik pertempuran, kepiawaian mengelola potensi justru dari pihak ‘lawan’ dan pastinya penguasaan bahasa asing, aspek sosiologis dan budaya kawasan Romawi tersebut.
Dalam momentum 29 Mei ini, mari kita teladani jiwa, keberanian dan kesungguhan sang pembebas muda bernama Al Fatih, sebagai pribadi yang wajar namun mampu menjadi ’icon’ dalam memimpin diri dan orang lain. Mari kita susuri rahasia tersirat di balik sejarah kemenangannya. Bukan sekadar membaca fakta dan data, tetapi untuk dijiwai semangat pengorbanan di mana ia kemudian menjadi roh kebangkitan pemuda Islam.
Sebuah penaklukkan yang gemilang sebagaimana selalu dikenang setiap 29 Mei. Mungkin, hal ini pula mengakibatkan Turki modern saat ini sangat sulit dan berbelit untuk bergabung dengan Eropa. Kronologi lengkap 50 hari istimewa bisa ditelusuri di sini.
Sekali lagi, MARI LURUS & RAPATKAN SHAFF KITA.
Sungguh luruskanlah shaf kalian, atau (jika tidak) Allah akan benar-benar menimbulkan perselisihan di antara wajah-wajah kalian.” (HR Al Bukhari [177] dan Muslim [436])
Dr. Askar Triwiyanto, ST, MSc. Mat.
======
Sumber : majelis qurani

Mengenang Torehan Luka Bagansiapiapi

Mengenang Torehan Luka BagansiapiapiResensi buku
Judul Buku : Gema ProklamasiKemerdekaan RI dalam Peristiwa Bagansiapiapi
Penulis : Sudarno Mahyudin
Penerbit : Adicita, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2006
Tebal : xv + 106 halaman
Kemerdekaan Indonesia senantiasa diikuti oleh beragam peristiwa bersejarah. Peristiwa bersejarah tersebut merupakan rekam cetak historis yang ditorehkan oleh semangat perjuangan bangsa yang penuh luka-luka. Tak hanya pertempuran-pertempuran politik yang terus bergolak, bahkan konflik antarsuku ternyata juga turut mengharu-biru dalam proses perjuangan bangsa Indonesia. Kemajemukan suku bangsa di Indonesia, yang sejatinya menjadi penguat budaya, berbalik menjadi bumerang karena semangat primordialisme sempit yang sarat muatan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Setidaknya itulah yang mewarnai peristiwa Bagansiapiapi di ranah Melayu pada tahun 1946, yang telah menorehkan kisah memilukan bagi Riau Daratan, terutama warga pribumi dan etnis Cina.
Soedarno Mahyudin, penulis buku ini, sengaja menghadirkan buku ini dalam rangka mengenang kembali tragedi Bagansiapiapi sebagai upaya pembelajaran bagi segenap elemen bangsa Indonesia agar dapat mengapresiasi budaya dari etnis yang berbeda di wilayah masing-masing, khususnya terhadap etnis Cina. Peluncuran buku ini, setidaknya menjadi titik tolak adanya saling pengertian dan harapan agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Bagansiapiapi merupakan wilayah yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Kala itu, Belanda menyebutnya sebagai Een China in Oost Indie. Hal itu disebabkan komposisi penduduknya yang didominasi oleh etnis Cina. Etnis Cina di Bagansiapiapi dikenal sebagai representasi entitas budaya yang berbeda dengan orang-orang Cina dari wilayah lain. Selain karena keuletannya dan kegigihannya, semangat chauvinisme juga melekat erat dalam sanubari mereka. Sebetulnya, berapapun jumlah warga etnis tertentu di wilayah Indonesia bukan sebuah risiko. Kerentanan konflik hanya akan terjadi bila suatu etnis menyanjung primordialisme sempit sehingga merendahkan etnis lain. Dan, inilah yang terjadi di Bagansiapiapi.
Meletusnya peristiwa Bagansiapiapi I yang dikenal sebagai ‘peristiwa bendera‘, dipicu oleh tersumbatnya komunikasi antara warga pribumi dengan etnis Cina yang kala itu mengibarkan bendera Kuo Min Tang tanpa didampingi bendera merah putih, simbol identitas negara Indonesia yang baru saja merdeka. Kondisi ini menjadikan masyarakat pribumi khususnya Melayu, merasa terinjak-injak harga dirinya. Terlebih, permintaan penurunan bendera diabaikan oleh warga Cina. Pertikaian ini berakhir dengan tewasnya Kapitan Lu Cin Po, pemimpin warga Cina. Sayangnya, sejarah kelam tak berhenti di sini. Rentetan peristiwa terus berlanjut hingga menimbulkan peristiwa Bagansiapiapi II yang lebih dahsyat, yang dikenal dengan peristiwa ‘tentara jambang‘.
Rekaman sejarah menyebutkan bahwa tentara jambang merupakan satuan komponen tentara desersi (tentara yang membelot dari tugas). Dalam peristiwa ini, tentara jambang mengurung anak-anak dan perempuan, merampas harta benda, bahkan memperkosa gadis-gadis Cina di desa pantai Panipahan (hlm.21). Carut marut ini berlangsung di Sungai Rokan, Kubu, serta Panipahan. Maka, aksi balas dendam pun dilakukan. Warga Cina dengan pasukan Cina-nya yang diberi nama Poh An Tui, ganti membunuh warga Indonesia. Pertalian erat antara etnis Cina di Medan, Singapura, dan Malaysia serta suplai senjata memperkuat posisi etnis Cina di Bagansiapiapi. Peristiwa Bagansiapiapi berkecamuk dengan sangat tragis. Nyawa tak lagi berharga di tengah kobaran emosi yang menyala. Dalam kurun waktu yang sangat singkat, sejak Maret hingga September 1946 peristiwa ini telah merenggut kurang lebih 2.500 jiwa warga Indonesia dan etnis Cina.
Konon, representasi etnis Cina di Bagansiapiapi yang melebihi separuh komunitas warga Indonesia menjadi pemicu konflik, di samping kurangnya komunikasi, provokasi, primordialisme, serta tindakan emosional akibat kesalahpahaman (hlm. vi). Tak heran, komposisi penduduk yang tidak seimbang ini menjadikan Bagansiapiapi bagaikan tanah air tersendiri bagi etnis Cina kala itu. Sehingga, ketika bara kemerdekaan tengah membuncah ke dalam jiwa bangsa Indonesia, sikap dan perbuatan warga Cina di Bagansiapiapi justru dianggap melecehkan kemerdekaan dan kedaulatan pemerintah Indonesia (hlm.15).
Peristiwa ini memberi pemahaman kepada kita bahwa warga pribumi di Bagansiapiapi sesungguhnya merasa terasing di negeri sendiri. Berdasarkan data yang dihimpun Sudarno, terungkap bahwa semua pokok perekonomian ada di tangan etnis Cina, mulai dari mata pencaharian sebagai nelayan, petani, kuli, tongkang-tongkang yang ribuan jumlahnya, hingga komponen cerdik pandai (hlm.101). Oleh sebab itu, Sudarno mengungkapkan bahwa komponen masyarakat yang tidak imbang antara warga pribumi dengan etnis Cina di Bagansiapiapi membutuhkan penanganan dan kebijakan khusus. Dalam konteks ini, menjaga harmoni dan harga diri bangsa Indonesia harus dikedepankan. Melalui peristiwa ini, kita dapat memetik makna bahwa simbol dan identitas kesukubangsaan yang bermuara pada etnosentrisme tertentu kerap menyimpan bahaya laten yang siap meledak.
Buku ini menghadirkan fakta-fakta kelam sejarah masa lalu disertai sumber informasi yang cukup akurat. Catatan-catatan sejarah dihimpun dengan lengkap dan rapi. Tanggal dan pelaku sejarah didokumentasikan secara apik dengan bentuk penyajian yang informatif. Buku ini sengaja dihadirkan agar kita tak lagi mengulang sejarah kelam kerusuhan antaretnis, tak lagi menyanjung tinggi identitas kesukuan, tak lagi memandang rendah etnis lain, dan tak lagi merasa terancam dengan kehadiran etnis yang berbeda di lingkungan sosial kita. Setidaknya, peristiwa ini mengingatkan kita pada kerusuhan serupa di Jakarta pada tahun 1998 yang melibatkan warga Indonesia dan etnis Cina.
Buku ini dapat menambah pemahaman bagi masyarakat Indonesia, terutama menyangkut hubungan warga Indonesia dengan etnis Cina. Di dalamnya terselip pesan bahwa sebagai bagian dari masyarakat, kita harus mawas diri, menahan diri, menjaga marwah negeri, serta mengembangkan sikap apresiatif terhadap kebudayaan lain di negeri tercinta ini.
Sebagaimana kata pengantar oleh penerbit dalam buku ini, bahwa dinamika kehidupan, arus budaya, serta keterikatan sebuah suku bangsa menjadi begitu berarti ketika sebuah etnik di ceruk negeri asing terbangkitkan semangat primordialismenya, disebabkan oleh dominasi penduduk dan ekonominya. Kiranya, kaum perantauan juga perlu bercermin dan menjunjung tinggi kebudayaan setempat. Seperti bunyi petuah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Semoga buku ini mampu mengantarkan pembaca pada pemahaman yang lebih arif dalam menyelami fenomena kemajemukan bangsa. Dengan demikian, apresiasi budaya dapat menafikan stereotipe terhadap etnis yang berbeda, sehingga mampu menenggelamkan semangat primordialisme. ***
Oleh : Nanum Sofia (Mahasiswi S2 Psikologi UGM)

 



Bendera-China-Kuomintang.jpg
(INTERNET)
PEKANBARU - Lambatnya diterima kabar Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945, di Jakarta, mengakibatkan terjadi kekosongan kekuasaan (Vacum of Power) di daerah-daerah seluruh Nusantara.
Keterlambatan dan kekosongan kekuasaan inilah kemudian di beberapa daerah di Riau menjadi konflik bersenjata. Pemicunya, orang-orang China ketika itu merasa merekalah yang berhak melanjutkan pemerintahan Jepang di Indonesia.
Bendera Kuomintang dengan matahari putih, memiliki 12 sinar di dalam kotak biru di sebelah kiri atas. Bendera ini digunakan di Tiongkok Daratan hingga 1949, dan sejak 1949 hanya digunakan di negara China Taipei atau Taiwan. Penggunaan di Tiongkok hanya sebatas penggunaan secara sejarah.
Lalu, di daerah mana saja di Riau, berkibarnya bendera China Kuomintang? Kemudian, akibat pengibaran tersebut memicu konflik, bahkan korban jiwa. Berikut kami sajikan untuk Anda, insiden bendera tersebut, datanya kami sarikan dari buku Sejarah Lokal Riau ditulis Guru Besar Sejarah Universitas Riau, Suwardi MS, dan dua rekannya, Kamaruddin dan Asril serta Ahmad Yusuf dkk dalam bukunya Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002 Buku I.
1. Pekanbaru
Kekosongan kekuasaan usai Jepang dinyatakan sebagai pihak yang kalah pada Perang Dunia II, ternyata dimanfaatkan oleh warga China yang berada di Pekanbaru.
Mereka merasa, China termasuk negara anggota Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II di Asia Pasifik dengan mengalahkan Jepang.
Berangkat dari alasan itu, orang-orang China ini kemudian dengan beraninya memasang dan mengibarkan bendera Kuomintang di kedai-kedai, rumah-rumah, warung-warung, tongkang-tongkang, atau pun kapal-kapal mereka, bukan merah putih, seperti warga pribumi lainnya.
"Kapal-kapal atau perahu-perahu milik China tak mau lagi diperiksa oleh duane atau polisi serta tidak singgah di Siak dan kampung-kampung," seperti dituliskan Prof Suwardi MS, dkk di dalam buku berjudul Sejarah Lokal Riau.
Akibatnya, terputuslah hubungan dari satu kampung ke kampung lainnya. Dari peristiwa tersebut, hal menarik munculnya insiden di Pasar Bawah, Pekanbaru, gara-gara orang China menaikkan bendera mereka, bendera Kuomintang.
Kondisi ini semakin diperparah dengan tersebarnya berita dari tawanan Belanda yang bebas, bahwa mereka akan mengambil alih kembali kekuasaan dan akan mengatur Pemerintahan Belanda di Riau.

2. Selat Panjang
Kondisi serupa, pengibaran bendera China, Kuomintang, juga terjadi di Selat Panjang, kini ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti. Usai Jepang menyerahkan kalah, warga China di Selat Panjang bersuka ria mendengar berita kekalahan negeri matahari terbitu tersebut ke tangan Sekutu pimpinan Amerika Serikat.
Selama bulan September 1945, terasa kekosongan kekuasaan usai Jepang dinyatakan kalah, terasa kekosongan pemerintahan di Selat Panjang.
Orang-orang China yang merasa di atas angin kemudian mengeluarkan perkataan-perkataan, "Pemerintah Jepang, polisi Jepangsudah jatuh tak pakai lagi. Kita sudah menang,".
Oleh karena itu, warga China ini dengan congkaknya menyusun barisan dan menjaga keamanan hingga ke luar kota dan Pelabuhan Selat Panjang.
Bendera Merah Putih
"Mereka telah berkeyakinan, China termasuk negara-negara Sekutu yang menang perang. Keyakinan mereka lebih mendalam lagi dan menduga Sumatera nanti menjadi jajahan China," seperti tertulis di buku Sejarah Lokal Riau.
Pada 17 Oktober 1945, warga Selat Panjang yang memiliki kesadaran akan ke-Indonesiaan, mengibarkan dan menaikkan bendera merah putih. Sebelum berkibar, barisan-barisan rakyat berkeliling kota, kemudian baru kembali ke kantor Wedana Selat Panjang.
Sayang, usai barisan bubar, sekitar pukul 11.00 di hari yang sama, merapat dua kapal Inggris di pelabuhan. Seorang opsir turun dari kapal diiringi prajurit bersenjata dan seorang China.
Mereka kemudian berkeliling kota dan mendapati halaman rumah warga sudah berkibar bendera merah putih. Opsir Inggris ini lalu menuju rumah Kapitan China bernama Kang Tjoang Pa, dan rombongan telah disambut dengan jamuan makan dan minum dari tuan rumah.
Usai itu, datang perwakilan orang-orang China ke kantor wedana untuk menemui Mas Slamet. Ketika itu, Mas Slamet masih duduk bersama anggota Badan Aksi Kemerdekaan. Utusan itu sampaikan, Opsir Inggris ingin ketemu.
Lalu, disepakati, Mas Slamet menerima undangan tersebut dan melangkah menuju rumah kapitan China itu, Di sana, Opsir Inggris ini mengajak Mas Slamet menaiki kapal mereka di pelabuhan.
Di atas kapal, Mas Slamet ditanyakan mengenai pemerintahan dan siapa sedang berkuasa. Mas Slamet menjawab, pemerintahan di Selat Panjang sudah ada, yaitu Pemerintahan Republik Indonesia dengan pusat Kerasidenan di Pekanbaru dan A Malik sebagai residen Riau.
Selama Mas Slamet di atas kapal Inggris, warga pribumi dan China Selat Panjang berkumpul di sekitar pelabuhan dan jalan besar, mulai di depan tao pa kong hingga ke rumah Kang Tjoang Pa. Penduduk China waktu itu mengatakan, Mas Slamet pasti dibawa tentara Inggris.
Dugaan itu ternyata meleset, Mas Slamet keluar dari kapan dan menemui teman-teman seperjuangannya. Kesimpulannya, jika hari itu, 17 Oktober 1945, tak dikibarkan dan dinaikan bendera Merah Putih, maka dipastikan Inggris yang membonceng Belanda akan membuat pemerintahan baru di Selat Panjang. Tentu pemerintahan tersebut didukung penuh oleh pendudukan China yang merasa negaranya telah menang perang melawan Jepang.

3. Bagansiapi-api
Akhir Agustus 1945, di Bagansiapi-api telah beredar berita tentang Proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Berita ini dibawa oleh orang-orang yang berdatangan dari Medan, Pekanbaru dan Payakumbuh.
Pembawa berita itu antara lain M Idrus, Nahar Siddik, Boengsu, A Karim Said, dan lain-lain. Ini diiringi dengan pengibaran bendera merah putih di Kantor Pos (PTT) Bagansiapi-api oleh M Daud dan M Nur, dua pegawai PTT.
Dengan berkibarnya bendera Merah Putih ini, orang-orang China yang ada di Bagansiapi-api juga ikut-ikutan mengibarkan bendera Kuomintang di setiap kedai, dan rumah mereka.
"Orang China mengatakan, nanti yang akan mengoper pemerintah Jepang adalah tentara China, karena China negara anggota Sekutu, pemenang perang kalahkan Jepang," seperti tertulis dalam buku Sejarah Lokal Riau ditulis Suwardi MS dan dua rekan lainnya.
Berkibarnya bendera Kuomintang China ini ternyata membakar emosi dan kemarahan pemuda di Bagansiapi-api. Mereka menentang perbuatan tersebut. Kemarahan para pemuda ini dapat disabarkan oleh tokoh tua, seperti BA Muchtar dan Dulah Usman.
Tak hanya di Bagansiapi-api saja terjadi insiden pengibaran bendera. Di Kubu, orang-orang China ternyata sudah terlebih dahulu mengibarkan bendera mereka Kuomintang, dibandingkan merah putih.
Rakyat serentak menurunkan bendera tersebut dan mengibarkan sang saka Merah Putih di kantor Camat Kubu, 1 Januari 1946. Semula ada kesepakatan dengan pihak China Kuomintang, boleh mengibarkan bendera Bintang Dua Belas (Cap Ji Kak) milik mereka, namun berdampingan dengan bendera Merah Putih.
Sayangnya, kesepakatan itu diingkari mereka dengan tetap mengibarkan bendera Kuomintang tanpa Merah Putih. Ini jelas menyinggung dan membuat emos para pemuda tang tergabung di di BKR darat dan Laut.
Ahmad Yusuf dkk dalam bukunya Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002 Buku I, menceritakan insiden penurunan disertai perobekan bendera Kuomintang oleh pemuda.
Peristiwa ini membuat Bagansiapi-api mencekam, masing-masing pihak berada di tempatnya. Orang China terkonsentrasi di Bagan Kota (Jalan Perdagangan dan Perniagaan sekarang hingga pelabuhan).
Dengab demikian mereka menguasai pusat kota dan pintu pelabuhan arah ke laut (Pulau Lalng dan Selat Malaka). Sedangkan pihak Indonesia terkonsentrasi di pinggir kota arah ke darat kemudian dikenal saat ini dengan Jalan Pahlawan dan sekitarnya, Bagan Jawa dan Bagan Punak.
Pengibaran bendera Kuomintang inilah kemudian dikenal dengan Peristiwa Bagansiapi-api I dipicu tewasnya Kapitan China akibat pengibaran bendera Kuomintang di rumah-rumah orang China tanpa didampingi bendera Merah Putih. Peristiwa berdarah Bagansiapi-api I ini dikemudian disusul Bagansiapi-api II beberapa bulan kemudian.


Tampilkan postingan dengan label Bagansiapiapi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bagansiapiapi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bagansiapiapi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bagansiapiapi. Tampilkan semua postingan

Labels

Facebook

Search This Blog

Random Posts

Recent Posts

Recent in Sports

Header Ads

test

Labels

KLIKOKE

Smartphones

RUANGBACA

Author Name

Recent Reviews

Produk Lainnya

Subscribe Us

Produk Terlaris

Fakta Mengejutkan Tentang Dajjal yang Tidak Diketahui

Dajjal merupakan tokoh yang sangat penting pada masa akhir zaman nanti. Bahkan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW, ia termasuk salah satu daripada tanda besar menjelang hari kiamat. Artinya, apabila Dajjal sudah muncul di hadapan manusia ramai, itu pertanda bahwa kiamat tidak akan lama lagi terjadi. Pertanyaannya sekarang, siapakah sebenarnya Dajjal? Sebelum membaca lebih lengkap, ada baiknya Anda menonton dulu video di bawah ini. Video ini mengabarkan bahwa seorang pemuda yang kelak akan dibunuh oleh Dajjal telah lahir di Palestina. Semoga Allah melindungi kita dari fitnah Dajjal. Daftar Isi  [ hide ] 1  Biografi Dajjal 1.1  Ciri-ciri Fisik Dajjal 1.2  Lokasi, Kemunculan dan Tempat Persinggahannya 1.3  Para Pengikut Dajjal 1.4  Fitnah dan Kemampuan Dajjal 1.5  Kematian Dajjal 2  Cara Menangkal Fitnah Dajjal Biografi Dajjal kabarmakkah.com Dajjal adalah makhluk Allah yang masih dalam kategori keturunan Nabi Adam as alias manusia. Sehingga, teori-teori atau duga