Mengenang Torehan Luka Bagansiapiapi
Judul Buku : Gema ProklamasiKemerdekaan RI dalam Peristiwa Bagansiapiapi
Penulis : Sudarno Mahyudin
Penerbit : Adicita, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2006
Tebal : xv + 106 halaman
Kemerdekaan Indonesia senantiasa diikuti oleh beragam peristiwa bersejarah. Peristiwa bersejarah tersebut merupakan rekam cetak historis yang ditorehkan oleh semangat perjuangan bangsa yang penuh luka-luka. Tak hanya pertempuran-pertempuran politik yang terus bergolak, bahkan konflik antarsuku ternyata juga turut mengharu-biru dalam proses perjuangan bangsa Indonesia. Kemajemukan suku bangsa di Indonesia, yang sejatinya menjadi penguat budaya, berbalik menjadi bumerang karena semangat primordialisme sempit yang sarat muatan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Setidaknya itulah yang mewarnai peristiwa Bagansiapiapi di ranah Melayu pada tahun 1946, yang telah menorehkan kisah memilukan bagi Riau Daratan, terutama warga pribumi dan etnis Cina.
Soedarno Mahyudin, penulis buku ini, sengaja menghadirkan buku ini dalam rangka mengenang kembali tragedi Bagansiapiapi sebagai upaya pembelajaran bagi segenap elemen bangsa Indonesia agar dapat mengapresiasi budaya dari etnis yang berbeda di wilayah masing-masing, khususnya terhadap etnis Cina. Peluncuran buku ini, setidaknya menjadi titik tolak adanya saling pengertian dan harapan agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Bagansiapiapi merupakan wilayah yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Kala itu, Belanda menyebutnya sebagai Een China in Oost Indie. Hal itu disebabkan komposisi penduduknya yang didominasi oleh etnis Cina. Etnis Cina di Bagansiapiapi dikenal sebagai representasi entitas budaya yang berbeda dengan orang-orang Cina dari wilayah lain. Selain karena keuletannya dan kegigihannya, semangat chauvinisme juga melekat erat dalam sanubari mereka. Sebetulnya, berapapun jumlah warga etnis tertentu di wilayah Indonesia bukan sebuah risiko. Kerentanan konflik hanya akan terjadi bila suatu etnis menyanjung primordialisme sempit sehingga merendahkan etnis lain. Dan, inilah yang terjadi di Bagansiapiapi.
Meletusnya peristiwa Bagansiapiapi I yang dikenal sebagai ‘peristiwa bendera‘, dipicu oleh tersumbatnya komunikasi antara warga pribumi dengan etnis Cina yang kala itu mengibarkan bendera Kuo Min Tang tanpa didampingi bendera merah putih, simbol identitas negara Indonesia yang baru saja merdeka. Kondisi ini menjadikan masyarakat pribumi khususnya Melayu, merasa terinjak-injak harga dirinya. Terlebih, permintaan penurunan bendera diabaikan oleh warga Cina. Pertikaian ini berakhir dengan tewasnya Kapitan Lu Cin Po, pemimpin warga Cina. Sayangnya, sejarah kelam tak berhenti di sini. Rentetan peristiwa terus berlanjut hingga menimbulkan peristiwa Bagansiapiapi II yang lebih dahsyat, yang dikenal dengan peristiwa ‘tentara jambang‘.
Rekaman sejarah menyebutkan bahwa tentara jambang merupakan satuan komponen tentara desersi (tentara yang membelot dari tugas). Dalam peristiwa ini, tentara jambang mengurung anak-anak dan perempuan, merampas harta benda, bahkan memperkosa gadis-gadis Cina di desa pantai Panipahan (hlm.21). Carut marut ini berlangsung di Sungai Rokan, Kubu, serta Panipahan. Maka, aksi balas dendam pun dilakukan. Warga Cina dengan pasukan Cina-nya yang diberi nama Poh An Tui, ganti membunuh warga Indonesia. Pertalian erat antara etnis Cina di Medan, Singapura, dan Malaysia serta suplai senjata memperkuat posisi etnis Cina di Bagansiapiapi. Peristiwa Bagansiapiapi berkecamuk dengan sangat tragis. Nyawa tak lagi berharga di tengah kobaran emosi yang menyala. Dalam kurun waktu yang sangat singkat, sejak Maret hingga September 1946 peristiwa ini telah merenggut kurang lebih 2.500 jiwa warga Indonesia dan etnis Cina.
Konon, representasi etnis Cina di Bagansiapiapi yang melebihi separuh komunitas warga Indonesia menjadi pemicu konflik, di samping kurangnya komunikasi, provokasi, primordialisme, serta tindakan emosional akibat kesalahpahaman (hlm. vi). Tak heran, komposisi penduduk yang tidak seimbang ini menjadikan Bagansiapiapi bagaikan tanah air tersendiri bagi etnis Cina kala itu. Sehingga, ketika bara kemerdekaan tengah membuncah ke dalam jiwa bangsa Indonesia, sikap dan perbuatan warga Cina di Bagansiapiapi justru dianggap melecehkan kemerdekaan dan kedaulatan pemerintah Indonesia (hlm.15).
Peristiwa ini memberi pemahaman kepada kita bahwa warga pribumi di Bagansiapiapi sesungguhnya merasa terasing di negeri sendiri. Berdasarkan data yang dihimpun Sudarno, terungkap bahwa semua pokok perekonomian ada di tangan etnis Cina, mulai dari mata pencaharian sebagai nelayan, petani, kuli, tongkang-tongkang yang ribuan jumlahnya, hingga komponen cerdik pandai (hlm.101). Oleh sebab itu, Sudarno mengungkapkan bahwa komponen masyarakat yang tidak imbang antara warga pribumi dengan etnis Cina di Bagansiapiapi membutuhkan penanganan dan kebijakan khusus. Dalam konteks ini, menjaga harmoni dan harga diri bangsa Indonesia harus dikedepankan. Melalui peristiwa ini, kita dapat memetik makna bahwa simbol dan identitas kesukubangsaan yang bermuara pada etnosentrisme tertentu kerap menyimpan bahaya laten yang siap meledak.
Buku ini menghadirkan fakta-fakta kelam sejarah masa lalu disertai sumber informasi yang cukup akurat. Catatan-catatan sejarah dihimpun dengan lengkap dan rapi. Tanggal dan pelaku sejarah didokumentasikan secara apik dengan bentuk penyajian yang informatif. Buku ini sengaja dihadirkan agar kita tak lagi mengulang sejarah kelam kerusuhan antaretnis, tak lagi menyanjung tinggi identitas kesukuan, tak lagi memandang rendah etnis lain, dan tak lagi merasa terancam dengan kehadiran etnis yang berbeda di lingkungan sosial kita. Setidaknya, peristiwa ini mengingatkan kita pada kerusuhan serupa di Jakarta pada tahun 1998 yang melibatkan warga Indonesia dan etnis Cina.
Buku ini dapat menambah pemahaman bagi masyarakat Indonesia, terutama menyangkut hubungan warga Indonesia dengan etnis Cina. Di dalamnya terselip pesan bahwa sebagai bagian dari masyarakat, kita harus mawas diri, menahan diri, menjaga marwah negeri, serta mengembangkan sikap apresiatif terhadap kebudayaan lain di negeri tercinta ini.
Sebagaimana kata pengantar oleh penerbit dalam buku ini, bahwa dinamika kehidupan, arus budaya, serta keterikatan sebuah suku bangsa menjadi begitu berarti ketika sebuah etnik di ceruk negeri asing terbangkitkan semangat primordialismenya, disebabkan oleh dominasi penduduk dan ekonominya. Kiranya, kaum perantauan juga perlu bercermin dan menjunjung tinggi kebudayaan setempat. Seperti bunyi petuah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Semoga buku ini mampu mengantarkan pembaca pada pemahaman yang lebih arif dalam menyelami fenomena kemajemukan bangsa. Dengan demikian, apresiasi budaya dapat menafikan stereotipe terhadap etnis yang berbeda, sehingga mampu menenggelamkan semangat primordialisme. ***
Oleh : Nanum Sofia (Mahasiswi S2 Psikologi UGM)
Sumber : melayuonline.com