Memaknai Arti Hijrah Lebih Luas dan Mendalam - KLIKOKE
  • Memaknai Arti Hijrah Lebih Luas dan Mendalam

    Foto diambil dari google


    Jangan memaknai hijrah hanya semata-mata melihat dari sisi bahasa saja tanpa mengaitkan dengan aspek lainnya. Dengan berdasar pada pengertian bahasa ini, maka orang yang tidak saling berbicara (saling membenci) adalah termasuk hijrah.

    Secara bahasa term hijrah mengandung dua arti:
    1. Memutuskan, misalnya seseorang hijrah meninggalkan kampung halamannya menuju kampung lainnya. Ini berarti ia memutuskan hubungan antara dirinya dengan kampungnya.
    2. Menunjukkan kerasnya sesuatu, berarti tengah hari di waktu panas sangat menyengat (keras).
    Imam Al Asfahanii cenderung pada arti pertama. Menurutnya, hijrah berarti berpisahnya seseorang dengan yang lain, baik berpisah secara badaniah, lisan, atau dengan hati. Meninggalkan suatu daerah berarti berpisah secara fisik (badan). Membenci seseorang berarti memisahkan dirinya dengan orang lain secara psikhis (qalbiyah), dan secara lisan berarti tidak mau berbicara dengan orang lain.
    Berbeda dengan Al Jurjani, menurutnya hijrah adalah meninggalkan tanah air yang dibawah kekuasaan orang-orang kafir menuju ke daerah Islam. Pengertian hijrah ini sudah mencakup pada pengertian istilah, karena ia sudah mengaitkan dan merujuk pada peristiwa hijrah yang pernah terjadi pada diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beserta para sahabatnya.
    Berikut ini kutipan hadis Nabi mengenai hijrah yang bersumber dari Umar bin Khattab yang mendengar langsung dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .
    “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” (Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
    Guna memahami makna terma hijrah dalam hadits di atas, harus kembali memperhatikan pada latar belakang historis disabdakannya hadis tersebut. Al-Zubair bin Bakkar meriwayatkan bahwa hadis tersebut disabdakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika baru saja tiba di Madinah bersama para sahabat.
    Ternyata dalam rombongannya itu terdapat seorang yang ikut hijrah hanya dengan harapan ingin melamar seorang wanita yang juga ikut berhijrah. Nabi mengetahui hal ini, lalu beliau naik ke atas mimbar dan menyabdakan hadis tersebut. Zainuddin al-Hambali menyebutkan bahwa seorang wanita yang ingin dilamar itu bernama Ummu Qais. Riwayat ini dinilai oleh Yahya Ismail Ahmad sebagai riwayat yang dhaif.
    Dengan demikian, hijrah yang dimaknakan sebagai perpindahan dari suatu daerah menuju ke daerah lain tidak hanya sekedar pindah, tetapi harus mempunyai tujuan yang jelas dan didasari oleh motivasi jiwa yang ikhlas. Dilihat dari sisi inilah maka transmigrasi penduduk di Indonesia, misalnya transmigrasi dari Pulau Jawa ke Sulawesi atau ke Sumatera, tidak dapat dikategoriklan sebagai hijrah yang dikehendaki dalam perspektif Islam ini, walaupun secara bahasa sudah termasuk karena perpindahan mereka meninggalkan kampung halaman mereka.
    Sejarah mencatatnya bahwa hijrah yang tersebut oleh hadis di atas adalah hijrah yang kedua dalam Islam. Ibn Qutaibah melengkapi informasi hijrah ini dengan mengatakan bahwa peristiwa hijrah (tibanya di Madinah) ini terjadi pada tangga 12 Rabi’ al-Awal ketika Nabi berusia 53 tahun atau tahun ke-13 setelah dilantik menjadi Rasul. Kalau ada hijrah kedua berarti ada hijrah yang pertama. Hijrah yang pertamadalam Islam adalah hijrahnya para sahabat ke Habasyah (Ethiopia). Informasi ini terekam dalam riwayat yang bersumber dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
    Kata Ahmad Syalabiy hijrah ke Habsyah ini terjadi pada tahun ke- 5 setelah Muhammad dilantik menjadi Nabi atau ketika Nabi saw berusia 45 tahun. Jadi, hijrah dalam artian pindahnya umat Islam (para sahabat) dari suatu daerah ke daerah lain itu sudah terjadi 2 kali, pertama hijrahnya ke Habasyah pada tahun ke-5 bi’tsah Nabi, dan yang kedua hijrah dari Makkah ke Madinah pada tahun ke-13 bi’tsah Nabi.
    Hal ini dipertegas dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal yang bersumber dari Abu Musa.
    Hijrah yang dimaksud di atas adalah hijrah yang sudah berlalu peristiwanya. Ada lagi hijrah yang saat ini belum terjadi tetapi suatu saat nanti di akhir zaman akan ada hijrah ke daerah Bait al-Maqdis di Palestina atau dalam skala yang lebih besar lagi yaitu ke daerah Syam. Hal ini didasarkan pada informasi dari sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud yang bersumber dari sahabat Abdullah bin Umar.
    Dalam Fath al-Bariy, hal. 40 al-‘Asqalaniy (852 H/1449 M) mengutip pendapat sebagian ulama bahwa ada hijrah yang ketiga, yaitu hijrah ke Syam pada akhir zaman nanti di saat fitnah sudah merambah dan merajalela kemana-mana (zhuhur al-fitan). (UHM/Fimadani)

  • You might also like

Technology

Flickr Images

Foto diambil dari google


Jangan memaknai hijrah hanya semata-mata melihat dari sisi bahasa saja tanpa mengaitkan dengan aspek lainnya. Dengan berdasar pada pengertian bahasa ini, maka orang yang tidak saling berbicara (saling membenci) adalah termasuk hijrah.

Secara bahasa term hijrah mengandung dua arti:
  1. Memutuskan, misalnya seseorang hijrah meninggalkan kampung halamannya menuju kampung lainnya. Ini berarti ia memutuskan hubungan antara dirinya dengan kampungnya.
  2. Menunjukkan kerasnya sesuatu, berarti tengah hari di waktu panas sangat menyengat (keras).
Imam Al Asfahanii cenderung pada arti pertama. Menurutnya, hijrah berarti berpisahnya seseorang dengan yang lain, baik berpisah secara badaniah, lisan, atau dengan hati. Meninggalkan suatu daerah berarti berpisah secara fisik (badan). Membenci seseorang berarti memisahkan dirinya dengan orang lain secara psikhis (qalbiyah), dan secara lisan berarti tidak mau berbicara dengan orang lain.
Berbeda dengan Al Jurjani, menurutnya hijrah adalah meninggalkan tanah air yang dibawah kekuasaan orang-orang kafir menuju ke daerah Islam. Pengertian hijrah ini sudah mencakup pada pengertian istilah, karena ia sudah mengaitkan dan merujuk pada peristiwa hijrah yang pernah terjadi pada diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beserta para sahabatnya.
Berikut ini kutipan hadis Nabi mengenai hijrah yang bersumber dari Umar bin Khattab yang mendengar langsung dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .
“Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” (Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Guna memahami makna terma hijrah dalam hadits di atas, harus kembali memperhatikan pada latar belakang historis disabdakannya hadis tersebut. Al-Zubair bin Bakkar meriwayatkan bahwa hadis tersebut disabdakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika baru saja tiba di Madinah bersama para sahabat.
Ternyata dalam rombongannya itu terdapat seorang yang ikut hijrah hanya dengan harapan ingin melamar seorang wanita yang juga ikut berhijrah. Nabi mengetahui hal ini, lalu beliau naik ke atas mimbar dan menyabdakan hadis tersebut. Zainuddin al-Hambali menyebutkan bahwa seorang wanita yang ingin dilamar itu bernama Ummu Qais. Riwayat ini dinilai oleh Yahya Ismail Ahmad sebagai riwayat yang dhaif.
Dengan demikian, hijrah yang dimaknakan sebagai perpindahan dari suatu daerah menuju ke daerah lain tidak hanya sekedar pindah, tetapi harus mempunyai tujuan yang jelas dan didasari oleh motivasi jiwa yang ikhlas. Dilihat dari sisi inilah maka transmigrasi penduduk di Indonesia, misalnya transmigrasi dari Pulau Jawa ke Sulawesi atau ke Sumatera, tidak dapat dikategoriklan sebagai hijrah yang dikehendaki dalam perspektif Islam ini, walaupun secara bahasa sudah termasuk karena perpindahan mereka meninggalkan kampung halaman mereka.
Sejarah mencatatnya bahwa hijrah yang tersebut oleh hadis di atas adalah hijrah yang kedua dalam Islam. Ibn Qutaibah melengkapi informasi hijrah ini dengan mengatakan bahwa peristiwa hijrah (tibanya di Madinah) ini terjadi pada tangga 12 Rabi’ al-Awal ketika Nabi berusia 53 tahun atau tahun ke-13 setelah dilantik menjadi Rasul. Kalau ada hijrah kedua berarti ada hijrah yang pertama. Hijrah yang pertamadalam Islam adalah hijrahnya para sahabat ke Habasyah (Ethiopia). Informasi ini terekam dalam riwayat yang bersumber dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Kata Ahmad Syalabiy hijrah ke Habsyah ini terjadi pada tahun ke- 5 setelah Muhammad dilantik menjadi Nabi atau ketika Nabi saw berusia 45 tahun. Jadi, hijrah dalam artian pindahnya umat Islam (para sahabat) dari suatu daerah ke daerah lain itu sudah terjadi 2 kali, pertama hijrahnya ke Habasyah pada tahun ke-5 bi’tsah Nabi, dan yang kedua hijrah dari Makkah ke Madinah pada tahun ke-13 bi’tsah Nabi.
Hal ini dipertegas dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal yang bersumber dari Abu Musa.
Hijrah yang dimaksud di atas adalah hijrah yang sudah berlalu peristiwanya. Ada lagi hijrah yang saat ini belum terjadi tetapi suatu saat nanti di akhir zaman akan ada hijrah ke daerah Bait al-Maqdis di Palestina atau dalam skala yang lebih besar lagi yaitu ke daerah Syam. Hal ini didasarkan pada informasi dari sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud yang bersumber dari sahabat Abdullah bin Umar.
Dalam Fath al-Bariy, hal. 40 al-‘Asqalaniy (852 H/1449 M) mengutip pendapat sebagian ulama bahwa ada hijrah yang ketiga, yaitu hijrah ke Syam pada akhir zaman nanti di saat fitnah sudah merambah dan merajalela kemana-mana (zhuhur al-fitan). (UHM/Fimadani)

Foto diambil dari google


Jangan memaknai hijrah hanya semata-mata melihat dari sisi bahasa saja tanpa mengaitkan dengan aspek lainnya. Dengan berdasar pada pengertian bahasa ini, maka orang yang tidak saling berbicara (saling membenci) adalah termasuk hijrah.

Secara bahasa term hijrah mengandung dua arti:
  1. Memutuskan, misalnya seseorang hijrah meninggalkan kampung halamannya menuju kampung lainnya. Ini berarti ia memutuskan hubungan antara dirinya dengan kampungnya.
  2. Menunjukkan kerasnya sesuatu, berarti tengah hari di waktu panas sangat menyengat (keras).
Imam Al Asfahanii cenderung pada arti pertama. Menurutnya, hijrah berarti berpisahnya seseorang dengan yang lain, baik berpisah secara badaniah, lisan, atau dengan hati. Meninggalkan suatu daerah berarti berpisah secara fisik (badan). Membenci seseorang berarti memisahkan dirinya dengan orang lain secara psikhis (qalbiyah), dan secara lisan berarti tidak mau berbicara dengan orang lain.
Berbeda dengan Al Jurjani, menurutnya hijrah adalah meninggalkan tanah air yang dibawah kekuasaan orang-orang kafir menuju ke daerah Islam. Pengertian hijrah ini sudah mencakup pada pengertian istilah, karena ia sudah mengaitkan dan merujuk pada peristiwa hijrah yang pernah terjadi pada diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beserta para sahabatnya.
Berikut ini kutipan hadis Nabi mengenai hijrah yang bersumber dari Umar bin Khattab yang mendengar langsung dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .
“Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” (Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Guna memahami makna terma hijrah dalam hadits di atas, harus kembali memperhatikan pada latar belakang historis disabdakannya hadis tersebut. Al-Zubair bin Bakkar meriwayatkan bahwa hadis tersebut disabdakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika baru saja tiba di Madinah bersama para sahabat.
Ternyata dalam rombongannya itu terdapat seorang yang ikut hijrah hanya dengan harapan ingin melamar seorang wanita yang juga ikut berhijrah. Nabi mengetahui hal ini, lalu beliau naik ke atas mimbar dan menyabdakan hadis tersebut. Zainuddin al-Hambali menyebutkan bahwa seorang wanita yang ingin dilamar itu bernama Ummu Qais. Riwayat ini dinilai oleh Yahya Ismail Ahmad sebagai riwayat yang dhaif.
Dengan demikian, hijrah yang dimaknakan sebagai perpindahan dari suatu daerah menuju ke daerah lain tidak hanya sekedar pindah, tetapi harus mempunyai tujuan yang jelas dan didasari oleh motivasi jiwa yang ikhlas. Dilihat dari sisi inilah maka transmigrasi penduduk di Indonesia, misalnya transmigrasi dari Pulau Jawa ke Sulawesi atau ke Sumatera, tidak dapat dikategoriklan sebagai hijrah yang dikehendaki dalam perspektif Islam ini, walaupun secara bahasa sudah termasuk karena perpindahan mereka meninggalkan kampung halaman mereka.
Sejarah mencatatnya bahwa hijrah yang tersebut oleh hadis di atas adalah hijrah yang kedua dalam Islam. Ibn Qutaibah melengkapi informasi hijrah ini dengan mengatakan bahwa peristiwa hijrah (tibanya di Madinah) ini terjadi pada tangga 12 Rabi’ al-Awal ketika Nabi berusia 53 tahun atau tahun ke-13 setelah dilantik menjadi Rasul. Kalau ada hijrah kedua berarti ada hijrah yang pertama. Hijrah yang pertamadalam Islam adalah hijrahnya para sahabat ke Habasyah (Ethiopia). Informasi ini terekam dalam riwayat yang bersumber dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Kata Ahmad Syalabiy hijrah ke Habsyah ini terjadi pada tahun ke- 5 setelah Muhammad dilantik menjadi Nabi atau ketika Nabi saw berusia 45 tahun. Jadi, hijrah dalam artian pindahnya umat Islam (para sahabat) dari suatu daerah ke daerah lain itu sudah terjadi 2 kali, pertama hijrahnya ke Habasyah pada tahun ke-5 bi’tsah Nabi, dan yang kedua hijrah dari Makkah ke Madinah pada tahun ke-13 bi’tsah Nabi.
Hal ini dipertegas dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal yang bersumber dari Abu Musa.
Hijrah yang dimaksud di atas adalah hijrah yang sudah berlalu peristiwanya. Ada lagi hijrah yang saat ini belum terjadi tetapi suatu saat nanti di akhir zaman akan ada hijrah ke daerah Bait al-Maqdis di Palestina atau dalam skala yang lebih besar lagi yaitu ke daerah Syam. Hal ini didasarkan pada informasi dari sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud yang bersumber dari sahabat Abdullah bin Umar.
Dalam Fath al-Bariy, hal. 40 al-‘Asqalaniy (852 H/1449 M) mengutip pendapat sebagian ulama bahwa ada hijrah yang ketiga, yaitu hijrah ke Syam pada akhir zaman nanti di saat fitnah sudah merambah dan merajalela kemana-mana (zhuhur al-fitan). (UHM/Fimadani)

Foto diambil dari google


Jangan memaknai hijrah hanya semata-mata melihat dari sisi bahasa saja tanpa mengaitkan dengan aspek lainnya. Dengan berdasar pada pengertian bahasa ini, maka orang yang tidak saling berbicara (saling membenci) adalah termasuk hijrah.

Secara bahasa term hijrah mengandung dua arti:
  1. Memutuskan, misalnya seseorang hijrah meninggalkan kampung halamannya menuju kampung lainnya. Ini berarti ia memutuskan hubungan antara dirinya dengan kampungnya.
  2. Menunjukkan kerasnya sesuatu, berarti tengah hari di waktu panas sangat menyengat (keras).
Imam Al Asfahanii cenderung pada arti pertama. Menurutnya, hijrah berarti berpisahnya seseorang dengan yang lain, baik berpisah secara badaniah, lisan, atau dengan hati. Meninggalkan suatu daerah berarti berpisah secara fisik (badan). Membenci seseorang berarti memisahkan dirinya dengan orang lain secara psikhis (qalbiyah), dan secara lisan berarti tidak mau berbicara dengan orang lain.
Berbeda dengan Al Jurjani, menurutnya hijrah adalah meninggalkan tanah air yang dibawah kekuasaan orang-orang kafir menuju ke daerah Islam. Pengertian hijrah ini sudah mencakup pada pengertian istilah, karena ia sudah mengaitkan dan merujuk pada peristiwa hijrah yang pernah terjadi pada diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beserta para sahabatnya.
Berikut ini kutipan hadis Nabi mengenai hijrah yang bersumber dari Umar bin Khattab yang mendengar langsung dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .
“Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” (Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Guna memahami makna terma hijrah dalam hadits di atas, harus kembali memperhatikan pada latar belakang historis disabdakannya hadis tersebut. Al-Zubair bin Bakkar meriwayatkan bahwa hadis tersebut disabdakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika baru saja tiba di Madinah bersama para sahabat.
Ternyata dalam rombongannya itu terdapat seorang yang ikut hijrah hanya dengan harapan ingin melamar seorang wanita yang juga ikut berhijrah. Nabi mengetahui hal ini, lalu beliau naik ke atas mimbar dan menyabdakan hadis tersebut. Zainuddin al-Hambali menyebutkan bahwa seorang wanita yang ingin dilamar itu bernama Ummu Qais. Riwayat ini dinilai oleh Yahya Ismail Ahmad sebagai riwayat yang dhaif.
Dengan demikian, hijrah yang dimaknakan sebagai perpindahan dari suatu daerah menuju ke daerah lain tidak hanya sekedar pindah, tetapi harus mempunyai tujuan yang jelas dan didasari oleh motivasi jiwa yang ikhlas. Dilihat dari sisi inilah maka transmigrasi penduduk di Indonesia, misalnya transmigrasi dari Pulau Jawa ke Sulawesi atau ke Sumatera, tidak dapat dikategoriklan sebagai hijrah yang dikehendaki dalam perspektif Islam ini, walaupun secara bahasa sudah termasuk karena perpindahan mereka meninggalkan kampung halaman mereka.
Sejarah mencatatnya bahwa hijrah yang tersebut oleh hadis di atas adalah hijrah yang kedua dalam Islam. Ibn Qutaibah melengkapi informasi hijrah ini dengan mengatakan bahwa peristiwa hijrah (tibanya di Madinah) ini terjadi pada tangga 12 Rabi’ al-Awal ketika Nabi berusia 53 tahun atau tahun ke-13 setelah dilantik menjadi Rasul. Kalau ada hijrah kedua berarti ada hijrah yang pertama. Hijrah yang pertamadalam Islam adalah hijrahnya para sahabat ke Habasyah (Ethiopia). Informasi ini terekam dalam riwayat yang bersumber dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Kata Ahmad Syalabiy hijrah ke Habsyah ini terjadi pada tahun ke- 5 setelah Muhammad dilantik menjadi Nabi atau ketika Nabi saw berusia 45 tahun. Jadi, hijrah dalam artian pindahnya umat Islam (para sahabat) dari suatu daerah ke daerah lain itu sudah terjadi 2 kali, pertama hijrahnya ke Habasyah pada tahun ke-5 bi’tsah Nabi, dan yang kedua hijrah dari Makkah ke Madinah pada tahun ke-13 bi’tsah Nabi.
Hal ini dipertegas dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal yang bersumber dari Abu Musa.
Hijrah yang dimaksud di atas adalah hijrah yang sudah berlalu peristiwanya. Ada lagi hijrah yang saat ini belum terjadi tetapi suatu saat nanti di akhir zaman akan ada hijrah ke daerah Bait al-Maqdis di Palestina atau dalam skala yang lebih besar lagi yaitu ke daerah Syam. Hal ini didasarkan pada informasi dari sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud yang bersumber dari sahabat Abdullah bin Umar.
Dalam Fath al-Bariy, hal. 40 al-‘Asqalaniy (852 H/1449 M) mengutip pendapat sebagian ulama bahwa ada hijrah yang ketiga, yaitu hijrah ke Syam pada akhir zaman nanti di saat fitnah sudah merambah dan merajalela kemana-mana (zhuhur al-fitan). (UHM/Fimadani)

Memaknai Arti Hijrah Lebih Luas dan Mendalam

Memaknai Arti Hijrah Lebih Luas dan Mendalam

Foto diambil dari google


Jangan memaknai hijrah hanya semata-mata melihat dari sisi bahasa saja tanpa mengaitkan dengan aspek lainnya. Dengan berdasar pada pengertian bahasa ini, maka orang yang tidak saling berbicara (saling membenci) adalah termasuk hijrah.

Secara bahasa term hijrah mengandung dua arti:
  1. Memutuskan, misalnya seseorang hijrah meninggalkan kampung halamannya menuju kampung lainnya. Ini berarti ia memutuskan hubungan antara dirinya dengan kampungnya.
  2. Menunjukkan kerasnya sesuatu, berarti tengah hari di waktu panas sangat menyengat (keras).
Imam Al Asfahanii cenderung pada arti pertama. Menurutnya, hijrah berarti berpisahnya seseorang dengan yang lain, baik berpisah secara badaniah, lisan, atau dengan hati. Meninggalkan suatu daerah berarti berpisah secara fisik (badan). Membenci seseorang berarti memisahkan dirinya dengan orang lain secara psikhis (qalbiyah), dan secara lisan berarti tidak mau berbicara dengan orang lain.
Berbeda dengan Al Jurjani, menurutnya hijrah adalah meninggalkan tanah air yang dibawah kekuasaan orang-orang kafir menuju ke daerah Islam. Pengertian hijrah ini sudah mencakup pada pengertian istilah, karena ia sudah mengaitkan dan merujuk pada peristiwa hijrah yang pernah terjadi pada diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beserta para sahabatnya.
Berikut ini kutipan hadis Nabi mengenai hijrah yang bersumber dari Umar bin Khattab yang mendengar langsung dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .
“Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” (Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Guna memahami makna terma hijrah dalam hadits di atas, harus kembali memperhatikan pada latar belakang historis disabdakannya hadis tersebut. Al-Zubair bin Bakkar meriwayatkan bahwa hadis tersebut disabdakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika baru saja tiba di Madinah bersama para sahabat.
Ternyata dalam rombongannya itu terdapat seorang yang ikut hijrah hanya dengan harapan ingin melamar seorang wanita yang juga ikut berhijrah. Nabi mengetahui hal ini, lalu beliau naik ke atas mimbar dan menyabdakan hadis tersebut. Zainuddin al-Hambali menyebutkan bahwa seorang wanita yang ingin dilamar itu bernama Ummu Qais. Riwayat ini dinilai oleh Yahya Ismail Ahmad sebagai riwayat yang dhaif.
Dengan demikian, hijrah yang dimaknakan sebagai perpindahan dari suatu daerah menuju ke daerah lain tidak hanya sekedar pindah, tetapi harus mempunyai tujuan yang jelas dan didasari oleh motivasi jiwa yang ikhlas. Dilihat dari sisi inilah maka transmigrasi penduduk di Indonesia, misalnya transmigrasi dari Pulau Jawa ke Sulawesi atau ke Sumatera, tidak dapat dikategoriklan sebagai hijrah yang dikehendaki dalam perspektif Islam ini, walaupun secara bahasa sudah termasuk karena perpindahan mereka meninggalkan kampung halaman mereka.
Sejarah mencatatnya bahwa hijrah yang tersebut oleh hadis di atas adalah hijrah yang kedua dalam Islam. Ibn Qutaibah melengkapi informasi hijrah ini dengan mengatakan bahwa peristiwa hijrah (tibanya di Madinah) ini terjadi pada tangga 12 Rabi’ al-Awal ketika Nabi berusia 53 tahun atau tahun ke-13 setelah dilantik menjadi Rasul. Kalau ada hijrah kedua berarti ada hijrah yang pertama. Hijrah yang pertamadalam Islam adalah hijrahnya para sahabat ke Habasyah (Ethiopia). Informasi ini terekam dalam riwayat yang bersumber dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Kata Ahmad Syalabiy hijrah ke Habsyah ini terjadi pada tahun ke- 5 setelah Muhammad dilantik menjadi Nabi atau ketika Nabi saw berusia 45 tahun. Jadi, hijrah dalam artian pindahnya umat Islam (para sahabat) dari suatu daerah ke daerah lain itu sudah terjadi 2 kali, pertama hijrahnya ke Habasyah pada tahun ke-5 bi’tsah Nabi, dan yang kedua hijrah dari Makkah ke Madinah pada tahun ke-13 bi’tsah Nabi.
Hal ini dipertegas dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal yang bersumber dari Abu Musa.
Hijrah yang dimaksud di atas adalah hijrah yang sudah berlalu peristiwanya. Ada lagi hijrah yang saat ini belum terjadi tetapi suatu saat nanti di akhir zaman akan ada hijrah ke daerah Bait al-Maqdis di Palestina atau dalam skala yang lebih besar lagi yaitu ke daerah Syam. Hal ini didasarkan pada informasi dari sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud yang bersumber dari sahabat Abdullah bin Umar.
Dalam Fath al-Bariy, hal. 40 al-‘Asqalaniy (852 H/1449 M) mengutip pendapat sebagian ulama bahwa ada hijrah yang ketiga, yaitu hijrah ke Syam pada akhir zaman nanti di saat fitnah sudah merambah dan merajalela kemana-mana (zhuhur al-fitan). (UHM/Fimadani)

Memaknai Arti Hijrah Lebih Luas dan Mendalam

Memaknai Arti Hijrah Lebih Luas dan Mendalam

Foto diambil dari google


Jangan memaknai hijrah hanya semata-mata melihat dari sisi bahasa saja tanpa mengaitkan dengan aspek lainnya. Dengan berdasar pada pengertian bahasa ini, maka orang yang tidak saling berbicara (saling membenci) adalah termasuk hijrah.

Secara bahasa term hijrah mengandung dua arti:
  1. Memutuskan, misalnya seseorang hijrah meninggalkan kampung halamannya menuju kampung lainnya. Ini berarti ia memutuskan hubungan antara dirinya dengan kampungnya.
  2. Menunjukkan kerasnya sesuatu, berarti tengah hari di waktu panas sangat menyengat (keras).
Imam Al Asfahanii cenderung pada arti pertama. Menurutnya, hijrah berarti berpisahnya seseorang dengan yang lain, baik berpisah secara badaniah, lisan, atau dengan hati. Meninggalkan suatu daerah berarti berpisah secara fisik (badan). Membenci seseorang berarti memisahkan dirinya dengan orang lain secara psikhis (qalbiyah), dan secara lisan berarti tidak mau berbicara dengan orang lain.
Berbeda dengan Al Jurjani, menurutnya hijrah adalah meninggalkan tanah air yang dibawah kekuasaan orang-orang kafir menuju ke daerah Islam. Pengertian hijrah ini sudah mencakup pada pengertian istilah, karena ia sudah mengaitkan dan merujuk pada peristiwa hijrah yang pernah terjadi pada diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beserta para sahabatnya.
Berikut ini kutipan hadis Nabi mengenai hijrah yang bersumber dari Umar bin Khattab yang mendengar langsung dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .
“Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” (Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Guna memahami makna terma hijrah dalam hadits di atas, harus kembali memperhatikan pada latar belakang historis disabdakannya hadis tersebut. Al-Zubair bin Bakkar meriwayatkan bahwa hadis tersebut disabdakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika baru saja tiba di Madinah bersama para sahabat.
Ternyata dalam rombongannya itu terdapat seorang yang ikut hijrah hanya dengan harapan ingin melamar seorang wanita yang juga ikut berhijrah. Nabi mengetahui hal ini, lalu beliau naik ke atas mimbar dan menyabdakan hadis tersebut. Zainuddin al-Hambali menyebutkan bahwa seorang wanita yang ingin dilamar itu bernama Ummu Qais. Riwayat ini dinilai oleh Yahya Ismail Ahmad sebagai riwayat yang dhaif.
Dengan demikian, hijrah yang dimaknakan sebagai perpindahan dari suatu daerah menuju ke daerah lain tidak hanya sekedar pindah, tetapi harus mempunyai tujuan yang jelas dan didasari oleh motivasi jiwa yang ikhlas. Dilihat dari sisi inilah maka transmigrasi penduduk di Indonesia, misalnya transmigrasi dari Pulau Jawa ke Sulawesi atau ke Sumatera, tidak dapat dikategoriklan sebagai hijrah yang dikehendaki dalam perspektif Islam ini, walaupun secara bahasa sudah termasuk karena perpindahan mereka meninggalkan kampung halaman mereka.
Sejarah mencatatnya bahwa hijrah yang tersebut oleh hadis di atas adalah hijrah yang kedua dalam Islam. Ibn Qutaibah melengkapi informasi hijrah ini dengan mengatakan bahwa peristiwa hijrah (tibanya di Madinah) ini terjadi pada tangga 12 Rabi’ al-Awal ketika Nabi berusia 53 tahun atau tahun ke-13 setelah dilantik menjadi Rasul. Kalau ada hijrah kedua berarti ada hijrah yang pertama. Hijrah yang pertamadalam Islam adalah hijrahnya para sahabat ke Habasyah (Ethiopia). Informasi ini terekam dalam riwayat yang bersumber dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Kata Ahmad Syalabiy hijrah ke Habsyah ini terjadi pada tahun ke- 5 setelah Muhammad dilantik menjadi Nabi atau ketika Nabi saw berusia 45 tahun. Jadi, hijrah dalam artian pindahnya umat Islam (para sahabat) dari suatu daerah ke daerah lain itu sudah terjadi 2 kali, pertama hijrahnya ke Habasyah pada tahun ke-5 bi’tsah Nabi, dan yang kedua hijrah dari Makkah ke Madinah pada tahun ke-13 bi’tsah Nabi.
Hal ini dipertegas dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal yang bersumber dari Abu Musa.
Hijrah yang dimaksud di atas adalah hijrah yang sudah berlalu peristiwanya. Ada lagi hijrah yang saat ini belum terjadi tetapi suatu saat nanti di akhir zaman akan ada hijrah ke daerah Bait al-Maqdis di Palestina atau dalam skala yang lebih besar lagi yaitu ke daerah Syam. Hal ini didasarkan pada informasi dari sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud yang bersumber dari sahabat Abdullah bin Umar.
Dalam Fath al-Bariy, hal. 40 al-‘Asqalaniy (852 H/1449 M) mengutip pendapat sebagian ulama bahwa ada hijrah yang ketiga, yaitu hijrah ke Syam pada akhir zaman nanti di saat fitnah sudah merambah dan merajalela kemana-mana (zhuhur al-fitan). (UHM/Fimadani)

Labels

Facebook

Search This Blog

Archive

Random Posts

Recent Posts

Recent in Sports

Header Ads

test

Labels

KLIKOKE

Smartphones

RUANGBACA

Author Name

Recent Reviews

Produk Lainnya

Subscribe Us

Produk Terlaris

ALLAHU AKBAR! Donald Trump Diduga STROKE, Lidahnya Kelu Sesaat Setelah Umumkan Yerussalem sebagai Ibu Kota Israel

ALLAHU AKBAR! Donald Trump Diduga STROKE, Lidahnya Kelu Sesaat Setelah Umumkan Yerussalem sebagai Ibu Kota Israel Dikutip dari Facebook :  Berita Islam Berita Islam Jumat, 08 Desember 2017 Foto: sindonews Moslemcommunity.net - Gedung Putih menyatakan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan /¢menjalani pemeriksaan medis publik awal tahun depan di Walter Reed National Military Medical Center. Trump kesulitan melafalkan kata-kata secara jelas mirip gejala kelu lidah. Gejala itu terjadi saat akhir pidatonya tentang pengumuman Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel pada hari Rabu lalu. Dia menyuarakan beberapa kata seperti "sh”, ketika melafalkan kalimat ”and God bless the United Shtesh”. Kata “Shtesh” semestinya “State” sehingga kalimat tersebut bermakna ”dan Tuhan memberkati Amerika Serikat”. Kondisi yang dialami Trump itu memicu spekulasi publik di media sosial. Ada yang menduga Presiden AS itu mengalami stroke. Ada juga yang menduga kesulitan bicara dengan gigi palsu. “Pria itu...
[blogger]