Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
Technology
All Collections
Flickr Images
Popular Posts
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Oleh: M Muhar Omtatok
Revolusi Sosial Sumatera Timur disebut oleh sebagian sumber merupakan gerakan sosial di Sumatera Utara Bagian Timur, terhadap penguasa Kesultanan dan Kerajaan Melayu yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946. Masih menurut sebagian sumber, Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan anti feodalisme. Revolusi melibatkan mobilisasi orang terorganisir yang berujung pada pembunuhan Sultan, anggota keluarga kesultanan dan Kerajaan Melayu, golongan menengah pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi Republik Indonesia.
Beberapa saksi mata mengatakan,
“Ini bukanlah Revolusi Sosial, tetapi pembantaian besar-besaran”.
“Tak usahlah ditabalkan nama peristiwa ini menjadi Revolusi Sosial. Tak ada itu! Ini Pembunuhan masal di Sumatera Timur yang mesti diusut dan kebenaran sejarah mesti diluruskan”.
“Maret berdarah di Sumatera Timur adalah pembantaian masal”.
Apapun itu namanya, mereka yang telah membangun Pesisir Timur Sumatera Utara ini, telah dibunuh secara sadis, perempuan-perempuan diperkosa di hadapan ayahanda dan keluarganya, harta benda dirampas layaknya penggarap merampas hak ulayat.
Yang selamat dan hidup saat itu, harus lari bersembunyi entah kemana membawa nasib, dari satu kampung ke kampung lain, bahkan ada yang ketakutan hingga terdampar ke luar negeri.
Ini sebuah traumatik terwaris yang semestinya ada setawar sedingin bagi mereka dan turunannya di Sumatera Timur ini.
Coba lah kita amati photo photo lampau Sumatera Timur (kini berada di Provinsi Sumatera Utara), yang dahulu indah dengan istana-istana yang berornamen seni tinggi; di saat itu, dibakar habis. Istana Darul Aman Kesultanan Langkat diserbu dan dibakar, Istana Keraton Kota Galuh Kesultanan Negeri Serdang dijarah, Puri Kesultanan Deli dijarah hingga banyak bangsawan Deli diungsikan ke Malaya. Demikian juga di Asahan, Kualuh, Panai, Bilah, Kota Pinang, dan memporak porandakan Bedagai, Padang - Tebing Tinggi, dan beberapa wilayah batubara dan lainnya.
Alahai, semua negeri di Sumatera Timur sama rata mengalami peristiwa menyedihkan, Seluruh negeri negeri Melayu, Simalungun hingga Karo. Para pembantai seperti diseluk syetan, lesap hilang prikemanusiaan.
Sebetulnya perih hati mengisahkan peristiwa lampau nan masih berbekas hingga kini, entah bila terobati luka meruyak.
*
Di Tanjung Pasir, kini berada di Kabupaten Labuhanbatu Utara, ada sebuah Kesultanan Melayu bernama Kualuh. Malam itu, 3 Maret 1946, sebagian besar penghuni Istana Kualuh sedang terlelap, dan ada pula yang sedang sholat. Tiba-tiba terdengar suara pintu dipukul-pukul keras dari luar.
“Mana Tengku Besar? Mana Tengku Besar?” teriak orang-orang yang datang dengan senjata tajam. Tengku Besar adalah gelar bagi Tengku Mansoer Sjah, putra Sultan Kualuh. Rupanya, malam itu Tengku Mansoer Sjah tidak tidur di istana, tapi di rumah yang lain.
“Tuanku mana? Mana Tuanku?” Tuanku adalah panggilan bagi Tuanku Al Hadji Moehammad Sjah, Sultan Kualuh.
Dengan paksa, Tuanku yang sedang beribadah itu, mereka bawa ke kuburan Cina, Lalu Tengku Besar juga dijemput dan dibawa ke tempat yang sama.
Tengku Darman Sjah, adik Tengku Besar, malam itu sedang berada di kuburan istrinya yang baru saja meninggal dunia. Dia tak henti membacakan ayat-ayat Al-Quran. Malam itu, dia pun ikut dibawa. Di kuburan Cina itu mereka disiksa. Lalu ditinggalkan.
Pagi harinya, seorang nelayan yang lewat melihat tubuh mereka terkapar tapi masih bernyawa. Dengan bantuan masyarakat, dibawalah ketiga keluarga kesultanan tadi ke istana untuk kemudian dirawat.
Tapi, sekitar pukul 11 siang, datang lagi sekelompok orang yang ingin membawa sultan dan kedua putranya. Mereka orang yang berbeda dari yang datang di malam sebelumnya.
“Rakyat menginginkan Tuanku dan kedua putranya dibawa ke rumah sakit,” kata salah seorang dari mereka.
“Usahlah, biar kami saja yang urus,” ujar istri Sultan.
Tapi sekelompok orang yang datang itu memaksa tanpa ada adab bersopan. Dan kerabat istana tak dapat berbuat apa-apa. Mereka pun dibawa entah ke mana dan hingga kita tak pernah terkabar. Kerabat istana yang lain, termasuk perempuan ditawan selama lebih dari satu bulan. Mereka dibawa ke sana kemari, dari Rantau Prapat hingga Siantar, mereka disiksa bathin dan kejiwaan.
“Bila kalian hendak membunuh kami, tunggulah Obang (Azan) selesai dikumandangkan, dan izinkan kami sembahyang sekejap. Ini permintaan kami kepada kalian yang tak satupun kami kenal ini”, pinta Tuanku.
“Ah, tak penting sholat. Bunuh mereka !”, perintah pemimpin pembunuhan itu.
Tersayat hati mengenang peristiwa pembunuhan ini. Tak terhitung berapa banyak korban di Kualuh, Panai, Kota Pinang, atau juga Sultan Bilah – Tuanku Hasnan terbunuh beserta sekian banyak lainnya.
“Macam ditetak sebatang buluh,
Ditetak buluh kecai terbelah;
Macam tak bertuhan mereka membunuh,
Mangkatlah bangsawan tiada bersalah”
*
Di Kesultanan Langkat, peristiwa ini pun tak kurang menyedihkan. Tak sedikit perempuan diperkosa dihadapan orangtuanya, lelaki dibantai teramat sangat mengejamkan. Di Kesultanan kaya ini, kehilangan banyak petinggi yang bermutu dan pakar.
Adalah Tengku Amir Hamzah, seorang sastrawan, Pangeran Langkat hulu serta wakil Pemerintah Republik Indonesia, juga turut dibunuh.
Pada 7 Maret 1946 dengan kendaraan terbuka, Tengku Amir Hamzah dan lainnya dijeput paksa. Saat itu ia berbaju putih lengan panjang, ia sempatkan melambaikan tangannya pada orang-orang yang ingin menyalaminya di jalan. Bersama tahanan lain, Amir dikumpulkan di Jalan Imam Bonjol - Binjai, lalu dikirim ke perladangan Kuala Begumit untuk disiksa dan dibunuh.
Anehnya, beberapa orang pemuda ternyata sempat mendatangi Tengku Kamaliah, istri Amir Hamzah, untuk memintakan apa-apa yang kiranya perlu dikirimkan kepada Tengku Amir Hamzah di camp penyiksaan.
“Ini lah daku titipkan teruntuk suamiku, juadah satu siya(rantang)- masakan Melayu. Dan ini sehelai kain sembahyang, dan sepasang baju teluk belanga putih, kerana Ku Busu tak lepas dari menderas Al qur’an saban hari, bawakan lah ini Al qur’an untuk beliau”, ujar Tengku Kamaliah.
Di tempat yang lain di Kuala Begumit, nyatanya pakaian Tengku Amir Hamzah diambil, diganti dengan celana goni. Para tahanan diperintahkan menggali lubang; untuk kuburan mereka sendiri.
Satu demi satu para tahanan ditutup rapat matanya. Tangan diikat kuat ke belakang.
Sang algojo ternyata tak lain adalah Mandor Iyang Wijaya.
Sebelum melakukan pembunuhan, ia mengabulkan permintaan terakhir Tengku Amir Hamzah. Tengku Amir Hamzah meminta dua hal.
Pertama, ia meminta tutup matanya dibuka karena ingin menghadapi ajalnya dengan mata terbuka. Kedua, Tengku Amir Hamzah meminta waktu untuk sholat sebelum hukuman dijatuhkan.
Kedua permintaan Tengku Amir ini entah kenapa dikabulkan mereka.
Usai sholat, Sang Pujangga pun menerima ajalnya. Ia pergi menghadap Allah dalam usia 35 tahun dengan Kepala terputus dari badan.
“Aduhai dimana batang jerami,
Batang jerami usah dikerat;
Alahai dimana hati nurani,
Membunuh pejuang kekasih rakyat”
*
Pada tarikh 7- 8 Maret 1946, para Bangsawan Melayu Batubara diculik dan dikumpulkan di Labuhan Ruku.
Kemudian pada hari selasa 12 Maret, mereka dibawa ke penjara di Pematang Siantar.
Tak lama berselang, pada 26 Maret 1946 mereka dibawa lagi di Kampung Merdeka Berastagi, tanpa kepastian untuk apa bahkan diintimidasi.
Di tanggal 30 Juni, mereka dibawa lagi ke Raya Simalungun.
Selanjutnya pada 1 Juli 1946 dipindahkan ke Bah Birong.
Bangsawan Perempuan dibawa ke Tanjung Balai pada 23 Maret 1946 - Juli 1946. Mereka ditawan dan hanya diberi makan dari bahan makanan ternak.
Semua harta benda dirampas dan tanah mereka sudah dipancang.
Kaum bangsawan yang dipulangkan, terpaksa hidup di ladang dan hutan.
Penyiksaan dan pembunuhan tak terhitung jumlahnya. Ada yang matanya dicongkel, kemaluan disayat sayat. Bahkan ada yang dicincang dan dibuang ke laut.
Sebut saja beberapa korban, yaitu: Tengku Nur bin Tengku Busu Abdul Somad Indrapura, Tengku Anif Indrapura, Wan Bakhtin kemanakan Wan Sakroni Tanah Datar, Orang Kayo Syahbandar Indrapura, Orang Kayo Achmad cucu Datuk Limo Puluh, Orang Kayo Musa juru tulis Datuk Limo Puluh, Saudagar Sohor dari Sungai Balai Kedatukkan Suku Duo.
*
Ada lah pula Tengku Sortia bin T alhaji Jamta Melayu, cucu dari Tengku Tebing Pangeran, ia adalah Tengku Penasihat Negeri Padang di Tebing Tinggi. Saat itu ahad malam 3 maret 1946, beliau sedang berada di rumah perkebunan Tongkah milik kerajaan di wilayah Kampung Muslimin yang kini terletak antara Simalungun dan Serdang Bedagai. Bersama istrinya, Panakboru Nunum Purba gelar Puang Maimunah dan anak-anaknya, ia didatangi Barisan Harimau Liar.
“Raja mana… Raja mana!”, ucap rombongan. Tengku Sortia digelari Raja , karena beliau pemimpin tertinggi di perkebunan tembakau itu.
“Rajo sodang sembahyang Isya, Kojap yo”, ujar Puang Maimunah.
Sebelum berujung kalimat Puang Maimunah, rombongan terus memasuki rumah dan membawa Tengku Sortia yang sedang bersujud dalam sholatnya.
Puang Maimunah mengikuti dari kejauhan. Dan Tengku Sortia dibawa ke tepi sungai deras, tidak diketahui apa yang terjadi. Bisa saja dibunuh sadis dan dihanyutkan ke sungai. Yang pasti rumah panggung milik beliau dijarah dan dibakar.
Hingga akhir hayatnya Puang Maimunah seperti hilang kesadaran, acapkali ia menyusuri sungai, acapkali pula ia menangis mengharapkan suaminya kembali.
“Begitu pisau hendak diasah,
Usah nafsu diperturutkan;
Begitu perih mengenang kisah,
Sebuah sejarah yang menyedihkan”
*
3 Maret 1946, azan subuh belum lagi berkumandang di Tanjung Balai, Kesultanan Asahan.
Ketika itu, Tengku Muhammad Yasir - cucu Sultan Asahan yang ke X - Tuanku Muhammad Husinsyah, menyambut kedatangan ayahandanya yang baru tiba dari istana. Ayahnya baru pulang berjaga-jaga karena terdengar kabar akan ada penyerangan.
Rumah keluarga Tengku Yasir tak jauh dari Istana Asahan. Kedua lokasi tersebut sama-sama berada dalam lingkaran Kota Raja Indra Sakti, yang di tengahnya terhampar lapangan hijau.
Ketika itu, Tengku Yasir, yang berusia 15 tahun, membukakan pintu untuk ayahandanya. Dia lalu menatap ke arah lapangan hijau di depan rumahnya. Ada sekelompok orang merayap ke arah istana. Yasir melihat pakaian mereka biasa saja. Tapi, mereka membawa senjata api juga senjata tajam.
“Ontu(ayahanda) , tengoklah itu, Ntu!” ujar Yasir pada sang ayah sambil menunjuk ke arah lapangan. Melihat apa yang terjadi, mereka kemudian masuk ke rumah.
Pukul enam pagi itu, istana diserang sekelompok orang. Tuanku Sjaiboen Abdoel Djalil Rachmatsjah, Sultan Asahan waktu itu, dapat melarikan diri dari belakang istana. Dia berlari disesuatu tempat yang tersembunyi.
Satu jam kemudian, sejumlah orang datang ke rumah Tengku Yasir. Dia dan ayahnya dibawa. Tapi Tengku Yasir kesulitan berjalan karena tapak kakinya sedang sakit dan diperban. Melihat kaki Yasir yang sakit dan mengeluarkan bau tak sedap, dia tak jadi dibawa. Tengku Yasir pun lari ditengah sakitnya, menyelamatkan diri ke rumah Tengku Haniah, kakak sepupunya.
Rupanya, di rumah itu pun tak ada lagi lelaki. Semua sudah diculik sekelompok orang yang melakukan penyerangan. Dan tak lama datang lagi sekelompok orang untuk membawa mereka.
Sebuah dokumen Belanda memperkirakan bahwa revolusi sosial 1946 ini menelan korban pembunuhan sebanyak 1200 orang di Asahan, belum lagi di negeri-negeri lain di Sumatera Timur. Dari Sungai Londir saat dievakuasi dikemudian hari, menemukan banyak kerangka korban yang terkubur tak teratur, bahkan ada di dinding-dinding tanah.
*
Sebetulnya masih banyak yang hendak saya kisahkan dari peristiwa nyata yang mengharukan ini. Namun tak kuat saya melanjutkan untuk menuliskan kisah-kisah kebenaran sejarah ini. Terlalu sedih hati menuliskan kekejaman masa lalu yang berbekas hingga kini di hati puak Melayu di Sumatera Utara.
Aduhai Datuk Keramat Tasik Sijenggi,
Sedih pilu Bentan Telani;
Duhai Allah, begitu perih hati kami,
Mengenang kisah kekejam ini
Sumber : puakmeyalu.blogspot.com
BENARKAH KISAH PERNIKAHAN FATIMAH;
Fatimah yang merupakan putri dari Rasulullah sangat taat kepada Rasulullah. Fatimah juga dikenal sebagai sosok anak yang sangat berbakti kepada orang tua. Ali Bin Abi Thalib terketuk pertama kali saat Fatimah dengan sigap membasuh dan mengobati luka ayahnya, Muhammad SAW yang luka parah karena berperang.
Sejak saat itu, Ali bertekad untuk melamar putri dari Rasulullah yaitu Fatimah. Ali juga dikenal sebagai sosok yang pemberani dan orang yang sangat dekat dengan Rasulullah. Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, Ali merupakan orang kedua yang percaya akan wahyu itu setelah Khadijah, istri Rasulullah. Namun, Ali merupakan sosok pemuda yang miskin. Hidupnya dihabiskan untuk berdakwah di jalan Allah. Untuk itu, dia bertekad untuk menabung dengan tekun untuk membeli mahar dan melamar Fatimah.
Belum genap uang Ali untuk membeli mahar, tiba-tiba Ali mendengar bahwa sahabat nabi yaitu Abu Bakar telah melamar Fatimah. Ali pun merasakan kesedihan di hatinya. Namun, Ali pun sadar bahwa saingannya ini mempunya kualitas iman dan islam yang lebih tinggi darinya.
Kesedihan Ali pun berhenti sejenak karena Fatimah menolak lamaran Abu Bakar.
Tetapi keceriaan Ali mulai redup kemballi mendengar bahwa Umar Bin Khatab melamar Fatimah. Lagi-lagi, Ali hanya bisa pasrah karena bersaing dengan Umar Bin Khatab yang gagah perkasa. Tetapi, takdir kembali berpihak kepada Ali. Umar Bin Khatab ditolak lamarannya oleh Fatimah.
Namun saat itu Ali belum berani mengambil sikap, dia sadar bahwa dia hanya pemuda miskin. Bahkan harta yang dia miliki hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kami tidak pernah menjumpai riwayat yang menyebutkan kisah pernikahan sedetail dan serinci itu. Riwayat yang kami jumpai sebagai berikut,
[1] Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
خَطَبَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رضى الله عنهما فَاطِمَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّهَا صَغِيرَةٌ ». فَخَطَبَهَا عَلِىٌّ فَزَوَّجَهَا مِنْهُ
Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah melamar Fatimah. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Dia masih kecil.’ Kemudian Fatimah dilamar Ali, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahnya dengan Fatimah. (HR. Nasai 3234, Ibn Hibban 6948 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
[2] Riwayat dialog antara Ali dengan mantan budaknya sebelum menikahi Fatimah
Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Sirah Nabawiyah dan al-Baihaqi dalam ad-Dalail, dari Ali radhiyallahu ‘anhu,
Aku ingin melamar Fatimah. Lalu mantan budakku menyampaikan kepadaku,
“Tahukah kamu bahwa Fatimah telah dilamar?”
“Tidak tahu.” Jawabku.
“Dia telah dilamar. Mengapa kamu tidak segera datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dinikahkan dengannya?” Jelas mantan budakku.
“Saya punya apa untuk menikah dengannya?” jawabku.
“Kalau kamu datang ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau akan menikahkanmu.” Kata mantan budakku.
Dia terus memotivasi aku sampai aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika aku duduk di depan beliau, aku hanya bisa terdiam. Demi Allah, aku tidak bisa bicara apapun, melihat wibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ما جاء بك، ألك حاجة؟
“Kamu datang, ada apa? Ada kebutuhan apa?”
Aku hanya bisa diam.
Beliau tanya ulang,
لعلك جئت تخطب فاطمة؟
“Kamu datang untuk melamar Fatimah?”
“Ya.” Jawabku.
Tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وهل عندك من شيء تستحلها به؟
“Kamu punya sesuatu yang bisa dijadikan untuk maharnya?”
“Gak ada, Ya Rasulullah…” jawabku.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
ما فعلت درع سلحتكها؟
Bagaimana dengan tameng yang pernah aku berikan kepadamu?
“Demi Allah, itu hanya Huthamiyah, nilainya tidak mencapai 4 dirham.” Jawabku.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenikahkan Ali dengan Fatimah dengan mahar tameng Huthamiyah.
Dalam riwayat Ahmad dan Nasai, dinyatakan,
Aku menikahi Fatimah radhiyallahu ‘anha. Aku berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ya Rasulullah, izinkan aku untuk menemui Fatimah”
“Berikan mahar kepadanya!” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Aku tidak punya apapun.” Jawabku.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
فأين دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّة؟
“Mana tameng Huthamiyah milikmu?”
“Ada di tempatku.” Jawabku.
“Berikan kepadanya!” perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ahmad 603, Nasai 3388 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Sumber : kisahmuslim.com
Foto : Ilustrasi |
Jika sejarah pada masa Islam akan dipelajari secara teliti dan dalam, wajib untuk mengetahui sistem negara yang dianut pada zaman tersebut. Sistemlah yang memberikan kepada suatu zaman bobot nilainya, karena dialah yang menghadapinya dan terjadi didalamnya aliran-aliran yang bermacam-macam. Bahkan sistem ini jikalau kita mengambilnya pada akhir masa Umar bin Al-Khatab, dapatlah kita memahami sebuah negara Islam secara paripurna khususnya pada perkara-perkara yang besar.
Maka sistem yang ada pada masa Umar adalah sistem yang terkonsentrasi pada urusan khilafah, yaitu memberi tafsiran kepada kita tentang peristiwa-peristiwa pada masa Islam, bahkan pada masa dinasti Umawiyah.
Hanya saja sistem ini tidak diletakkan sekaligus melainkan secara berangsur, satu bagian datang pada suatu waktu kemudian diikuti bagian lain setelahnya. Dan peristiwa-peristiwa itulah yang memberi gagasan sistem tersebut, karena ialah yang merekamnya. Kejadian-kejadian itu berjalan dengan "cepat meskipun saat itu belum ada dipuncak kepala negara Islam dua orang laki-laki yang mengecilkan lafal keagungan dihadapan urusan keduanya, serta membahayakan arus kejadian yang ditaruh sistem itu, maka didapatlah didalamnya penyakit dimana menimbulkan keributan dan ketidakstabilan. Namun Abu bakar dan Umar mampu bersikap sebaik-baiknya dengan kecerdasan yang langka ditemukan dalam sejarah, dan dengan baik jejak keduanya diikuti Utsman pada enam tahun pertama dari masa kekhilafahannya, sampai zaman terjadinya tragedi fitnah. Dan meskipun kejadian itu berlari dengan cepat namun pikiran tiga khalifah tersebut juga berlalu secepat kejadian itu, bahkan terkadang peristiwa yang terjadi mendahului benak pikiran mereka, namun mereka selamanya jernih pikiran, teroganisir, jauh jangkauan, dan dalam pandangannya.
Jika terhitung bahwa Umar bin Al-Khatab sebagai khalifah yang paling lama memerintah maka dialah yang banyak meletakkan bagian terbesar dari sistem tersebut, juga memeliharanya dari arah yang salah. Seandainya masa khilafahnya bertahan lebih lama dari yang sebenarnya maka sistem pemerintahan ini akan lebih mendalam, lebih bermaslahat, dan lebih luas.
Foto diambil dari google |
Disebutkan bahwa sistem pemerintahan di masa Khulafa Rasyidin bisa dikatakan menganut sistem sosialis (isytirakiyah), seperti akan nampak jelas pada uraian pembahasan sistem keuangan negara tersebut.
Sumber kekayaan utama sistem ini dari sisi keuangan adalah sumber pemasukannya, dimana negara memusatkan perhatiannya dan menjadikan sebuah masyarakat yang cenderung kepada sistem sosialis, yang memiliki ciri utama sebagian besar tanah adalah milik negara. Tapi sebagian tanah tetap milik perorangan apabila pemilikannya sebelum terjadinya futuhat.
Sistem keuangan ini juga bercirikan bahwa semua orang semestinya hidup dalam tingkat kehidupan yang standar dan wajar, tidak hidup mewah dan tidak turun dibawah garis kemiskinan. Negara hendaknya memperhatikan nasib kaum fakir miskin dan memberi haknya. Inilah sistem Islam yang diletakkan atas dasar Al-Quran dan sunnah. Setidaknya sistem ini mendapat uraian terinci pada masa khalifah Umar bin Al-Khathab yang memanfaatkan pengelolaan wilayah-wilayah yang dibuka (futuhaat) dan sistem didalamnya. Sampai sistem ini mapan dan matang dengan perkembangan pemikiran Islam dan kebutuhan daerah-daerah yang dibebaskan tersebut.
Negara-negara yang tadinya dibawah kekuasaan Romawi dan Parsi masa dahulu wajib membayar pajak dalam jumlah yang Besar, walau seluruh rakyatnya tidak membayar pajak. Ada lapisan tertentu di masyarakat yang tidak menunaikan apapun ke lumbung negara, tapi ada lapisan lain yang memberikan pajak hartanya kepada orang lain yang menyandarkan hidup darinya, mereka adalah pemuka agama. Dan pajak-pajak tersebut banyak jenisnya pada tanah-tanah tersebut yang amat dirasakan oleh rakyat, dimana mereka wajib menyerahkan kepada penguasa apa-apa yang menjadi penghidupannya berupa bulir-bulir bijian yang banyak. Sedang mereka bekerja dan menyerahkan hasil pekerjaannya seluruhnya seakan-akan hal itu sesuap makanan bagi mereka.
Kemudian datanglah masa pembebasan (futuhat), maka kaum muslimin menguasai mayoritas tanah-tanah tersebut yang tadinya dibawah kekuasaan Parsi dan Romawi. Tadinya dalam ketentuan hukum pembebasan (fath) dan peperangan bahwa tanah-tanah dan apa-apa yang ada di dalamnya adalah milik para tentara pembebas (al- faatihun), namun beberapa shahabat yang ikut serta dalam pembebasan tersebut, terutama dari para pembesar-pembesarnya seperti Saad bin Abi Waqash, Abu ‘Ubaidahidah, dan Amru bin Ash memohon tanah-tanah tersebut dibagi-bagi diantara mereka sebagaimana Rasulullah SAW melakukannya di tanah Khaibar. Maka mereka minta izin dan restu dari para penguasa wilayah dibawah Khalifah Umar bin Al-Khattab tentang perkara ini. Maka Umar mempertimbangkan pendapatnya dalam persoalan ini sebagai berikut: “jika tanah-tanah itu dibagi sesama tentara pembebas (fatihin), maka apa Yang tersisa untuk yang datang sesudahnya? Dan apa yang tersisa dari harta benda untuk membiayai futuhat selanjutnya? Dan apa nasib para pembebas (fatihin) sedang mereka harus memperhatikan lanah-tanah mereka, menanaminya dan mengelolanya, sehingga mereka akan terbuai lupa akan futuhat mendatang?”
Realitanya, bahwa masalah ini amatlah sangat penting, dan Umar bin Al-Khathab sebelumnya telah mempertimbangkannya dari sisi kemaslahatan agama dan kemaslahatan umat, walau persoalan sebenarnya bahwa para pembebas (fatihin) itu berhak untuk membagi tanah-tanah tersebut, tapi apakah hal itu sejalan dengan Fuh Islam?
Sehingga masalah ini menyita waktu cukup besar bagi Umar untuk memikirkannya secara luas. Dan sungguh baginya untuk memenangkan ruh Islam tanpa melanggar teks Al-Quran dan Sunnah. Maka segera ia kembali kepada Al-Quran dan didapatkannya dua ayat, salah satunya menetapkan pembagian tanah pembebasan yang biasanya menyambung dengan suatu daerah dan tanah khusus. Sedang ayat lain mengisyaratkan kepada satu macam yang terbilang dan mencakup umat seluruhnya. Dan telah disebutkan pada satu konteks tertentu bahwa tanah tersebut tidak menyambung dengan perkampungan tertentu melainkan dengan seluruh perkampungan, jadi yang terjadi disini adalah disamaratakan tanpa ada pembatasan. Allah Swt berfirman:
“Apa saja harta rampasan (fa'i) yang diberikan Allah kepada RasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. Juga bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampong halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman: Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.
Ayat ini berkaitan dengan fai' dari penduduk desa secara umum, bukan dari desa tertentu seperti termaktub di dalam Al-Quran untuk kondisi tertentu. Dan ayat mencakup semua lapisan kaum baik fakir, miskin, orang dalam perjalanan (musafir), muhajirin dan anshar kemudian mereka yang datang setelahnya yaitu mencakup umat Islam. Pada ayat ini Umar bin Al-Khathab merenung dan berkomentar: Hendaknya seluruh tanah-tanah tersebut tetap diperuntukan umat dan dari mereka semua tanah¬tanah tersebut ditahan.
Namun ada beberapa sahabat yang tidak sependapat, mereka tetap berpegang pada ayat yang mengizinkan pembagian tanah seperti peristiwa Khaibar, di antaranya Abdurrahman bin 'Auf, Zubair, dan Bilal bin Rabaah. Adapun Bilal yang paling keras didalam hal ini, dimana menentang penahanan tanah-tanah pembebasan dari tangan kaum muslimin.
Dan Umar belum mampu melobi para sahabat walaupun berada disamping pendapatnya beberapa sahabat lainnya seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman, Mu'adz, Abdullah bin Umar dan Thalhah.
Sampai akhirnya Umar terpaksa mengambil ketetapan hukum kepada kaum Anshar, maka mereka memilih lima orang dari suku Aus dan lima lagi dari suku Khazraj dan sang khalifah memaparkan kepada mereka letak perbedaan pendapat serta disebutkan juga bahaya yang mungkin terjadi dari pembagian tanah-tanah hasil pembebasan kepada tentara pembebas (fatihin), sehingga mereka menimbang-nimbangnya kemudian berkata: "Pendapat terbaik adalah apa yang kau lihat wahai Amirul Mukminin" Dari sinilah terjadi kestabilan opini dari apa yang telah ditemukan Umar bin Al-Khathab dalam kejeniusan akalnya dan pemahamannya terhadap ruh syariah.
Dan Umar menulis surat kepada wilayah-wilayah (amshor) apa yang telah tetap dari pendapat tentang masalah ini, dan beliau katakan: “Para tentara pembebas (fatihun) akan mengambil bagiannya dari harta rampasan perang (ghanaim), adapun tanah yang dibebaskan tetap milik kaum muslimin seluruhnya, yang mana diambil hasil dan produknya dan dibagi kepada umat.”
Dan kesulitan kedua yang dihadapi Umar datang dari pembagian devisa (pemasukan) negara. Apa saja dasar yang wajib dikonsentrasikan dalam pembagian devisa tersebut.? Apakah harta dibagikan kepada semua orang dengan merata? Dan pendapat Umar condong kepada pembagian berdasarkan kedudukan dan kelas masing-masing dari mereka. Kata Umar: “Sungguh saya tidak berpendapat bahwa orang yang berhijrah bersama Rasulullah Saw sama haknya dalam harta fayik dengan orang yang pernah memerangi Islam dan memeluknya kemudian”. Bertentangan dengan pendapatnya dalam hal ini Ali bin Abi Thalib. Tapi pendapat khalifah lebih unggul diatas pendapat para penentangnya, sehingga ditetapkanlah system pembagian sesuai kedudukan, Dan diletakkanlah urutan dalam masalah ini yaitu terdiri dari dua sisi: pertama didasarkan kepada hajat orang terhadap harta yang akan dinafkahkan, kedua keterdahuluannya didalam memeluk Islam dan memenangkannya. Dimulailah oleh Umar pertama kali dengan mengedepankan orang-orang yang sangat membutuhkan seperti Qaari' (pembaca) Al-Quran dan fakir yang amat menghajatkan, keduanya mengambil bagiannya yang mencukupinya. Baru kemudian dibagikan kepada golongan yang terdahulu dalam memeluk Islam dan kedekatannya kepada Rasulullah Saw.
Setelah ditaruhnya dasar-dasar ini, timbullah kemudian kendala baru yaitu: Bagaimana mencacah semua orang dan umat seluruhnya dapat terlibat dalam pemanfaatan harta tersebut, sedang hal tersebut sangat besar dan luas, nah bagaimana mendata dan mencacahnya?
Disini, para ahli arif dan bijak memberi petunjuk kepada khalifah untuk meletakkan sebuah kantor untuk orang banyak atau kantor pencatat (sipil) yang mencatat nama-nama orang didalamnya. Perlu disebutkan pada munasabah ini bahwa syair adalah perekam bagi bangsa Arab artinya bahwa syair merupakan pencatat bangsa Arab. Para ahli arif tadi telah mendapatkan hal serupa dari perangkat pencatat tersebut di negeri Kisraa. Maka oleh Umar didirikanlah sebuah diwan (Kantor pencatat) yang disebut diwanul Athaa', dimana direkam didalamnya segala nama-nama yang akan memanfaatkan dari harta-harta tersebut.
Sekarang marilah kita bayangkan bagaimana seorang khalifah dan para pembantunya mampu membatasi nama-nama orang tersebut dalam daftar catatan tadi. Sebelumnya haruslah mereka mengklasifikasikan nama-nama tersebut dalam golongan tertentu dimana mereka termasuk didalamnya agar mereka dapat dicacah didalamnya tanpa terlewatkan satupun. Dan pada masa itu orang-orang dinisbatkan kepada golongan atau sukunya, sehingga tidak mungkin semua orang dicacah kecuali dengan dasar kesukuan tadi. Memang memungkinkan bagi para pemerang agama Islam untuk dibagi berdasarkan kelompok yang diikutinya, tapi kelompok itu sendiri didasarkan pembagian kesukuan. Jadi tidak ada langkah lain disini untuk mencacahnya.
Dan dengan demikian berjalanlah pencatatan nama-nama kaum muslimin yang berhak (mustahik), semuanya sesuai dalam kabilah dan sukunya. Dan dapat dilihatnya bahwa pembatasan disini harus mendapat kepastian dari semua orang didalam kabilahnya, yaitu dalil kepastian yang sebenarnya tidak disengaja.
Kondisi masyarakat menetapkan keberadaan seseorang dalam kabilahnya, kemudian datanglah Islam menghapuskan kefanatikan tersebut dan mengikat persaudaraan antara semua orang. Sampai datangnya sistem keuangan ini mengembalikan dan memperkokoh tatanan kesukuan, dimana tidak ada jalan lain selain dari itu untuk melakukan pencacahan, dan terjadilah apa yang telah terjadi seperti yang akan kita saksikan.
Menghadang didepan Umar problem lain yaitu bagaimana mencacah orang-orang muslimin selain bangsa Arab. Umar mengikuti cara yang dikenal pada masa jahiliyah yaitu setiap kabilah-kabilah biasanya ada orang-orang yang berpihak dan loyal kepadanya dan mereka adalah bagian dari kabilah tersebut. Maka jika seseorang masuk Islam dan bergabung kepada salah satu suku Arab, maka bagi dirinya adalah bagi sukunya dan atas dirinya juga atas sukunya, serta namanya tercantum bersama nama-nama anggota kabilah tersebut. Dan begitulah apa yang dilakukan Umar, namun ia tidak menjadikan aturan ini sebagai kewajiban, bahkan katanya: “Jika ada kaum asing ingin menjadi suku tersendiri maka lakukanlah, maka bagiannya sebagaimana dirinya menjadi pendukung salah satu kabilah Arab". Namun hendaknya dibayangkan disini posisi orang yang masuk Islam tersebut, bukankah merupakan kemaslahatannya atau kebanggaannya apabila ia bernasab kepada satu kabilah Arab dan hak kewajibannya menjadi hak kewajiban kabilahnya.
Tidaklah syak bahwa orang-orang asing non-Arab akan mengutamakan saat pembagian suatu harta pemberian untuk bernisbat kepada kabilah-kabilah Arab daripada membentuk kumpulan khusus diantara mereka. Marilah kita bayangkan bahwa dahulu kala bangsa-bangsa yang berkuasa menganggap bangsa-bangsa yang diperintah sebagai bangsa yang lebih rendah dari mereka sehingga tidaklah bisa dinisbatkan ke bangsa mereka. Sedang Umar bin Al-Khathab telah membuka bagi orang asing (a’zam) peluang ini sehingga mereka mendapatkannya sebagai suatu keistimewaan yang besar sebagaimana mereka pernah menyandangnya.
Begitulah dapat dipahami bagaimana orang-orang asing telah menisbatkan diri kepada suatu kabilah Arab tanpa merasa riskan bahkan sebagai suatu keistimewaan.Hasil dari ini semua bahwa sistem keuangan telah menjadi sistem Arab, dimana pembagiannya telah didasarkan atas asas kabila-kabilah Arab, sehingga akan berdampak dalam sejarah Islam pada umumnya dan sejarah dinasti Umawiyyah pada khususnya.
Selanjutnya pembicaraan beralih kepada tanah kharraaj. Tanah yang telah menjadi milik Allah atau milik umat ini sengaja dibiarkan ditangan para petani pemilik aslinya, agar mereka mengelolanya dan dapat bekerja melaluinya sehingga dapat membayar kharajnya. Namun disamping pajak kharraj ada pajak lain yang pertama adalah jizyah. Disini tidak akan memperpanjang pembicaraan karena pada awalnya jizyah telah bercampur aduk dengan unsur kharraj, sehingga kadang jizyah telah dipakai untuk pembayaran kharraj dan kharraj digunakan dalam pengertian jizyah, sampai kedua istilah ini menemukan jalannya secara stabil untuk selamanya.
Jadi jizyah itu apa-apa yang diambil dari penduduk yang belum memeluk Islam dan menggunakan tanah kharraj untuk membayar apa-apa yang dihasilkan dari tanah tersebut. Dan Jizyah adalah pungutan untuk melindungi non-muslim dan menjamin keamanan mereka, namun mereka tidak dilibatkan dalam peperangan, dan jizyah diserahkan ke baitul-maal dan dibagikan kepada orang-orang yang terdaftar dalam kantor pencatat (diwanul-atha') . Diserahkan ke baitul-maal juga seperlima dari rikaz yaitu apa-apa yang dihasilkan dari dalam perut bumi berupa logam dan harta temuan berharga. Begitu pula kaum muslimin memberikan sepersepuluh dari hasil tanah pertaniannya, apabila mereka memiliki tanah dan mewarisinya. Dan diambil dari para pedagang sepersepuluh hasil keuntungannya dan itu semua dihimpun ke dalam baitul-maal.
Sedangkan sedakah dan zakat dimasukkan ke baitul-maal namun tidak dibagikan kepada golongan atha' tapi dibagikan untuk para kaum fakir miskin karena hak mereka sangatlah jelas, yaitu sesuatu yang diambil setiap tahunnya dari harta kalangan berada (kaya). Yang mana harta umat itu setiap empatpuluh tahun masuk ketangan kaum fakir untuk dibelanjakan dan dimanfaatkan darinya.
Jadi, telah berkumpul di dalam baitul-maal setumpuk harta amat besar yang diambil dari berbagai pihak yang telah disebutkan satu persatu tadi. Dan harta itu selalu dibagikan sehingga tidak tersisa pada baitul-maal kecuali sedikit saja yang wajib untuk kebutuhan masa mendatang. Dan Umar memerintahkan para ‘amilinnya untuk membagikan harta-harta tersebut pada waktunya agar tidak menyengsarakan orang-orang akibat keterlambatan pembagian tersebut.
Umar telah melakukan suatu pekerjaan luar biasa dalam mendata dan mencacah dalam kantor pencatat sipil (diwanul ‘atha'), juga dalam sejumlah tanah-tanah kharraj. Telah bergabung dalam melakukan hal ini Utsman bin Hanif dan Hudzaifah bin Yaman pada sejumlah tanah hitam di negeri Irak, dimana diketahui berapa luasnya dan kemudian dicacah. Dan ini suatu pekerjaan yang amat membanggakan tercatat bagi kedua sahabat ini.
Singkat kata, bahwa sistem keuangan pada masa Khulafaur Rasyidin adalah sistem yang terdiri dari beberapa unsur-unsur sistem sosialis, karena rakyat secara serentak ikut serta dalam memberikan pemasukan kepada negara untuk kembli dibagikan kepada mereka. Dan juga suatu sistem yang beberapa sisinya mengandung unsur kesukuan, karena pembagiannya berdasarkan asas kabilah.
Apa yang dapat disimpulkan dari pemaparan yang lalu tentang pembentukan negara pada masa Khulafa Rasyidin?
Dari pendahuluan yang telah kita kedepankan dapatlah ditemukan penafsirannya sekarang, dimana negara (seperti telah disebutkan) adalah negara musyawarah (syura) mengambil dari rakyat segala keputusan hukum dan sumber kehidupannya, yaitu negara yang segala sesuatunya berpusat pada hukum agama. Yaitu negara yang condong pada sistem sosialis dalam menata sistem keuangannya, dan negara bangsa Arab dalam sistem pendistribusian harta dan militernya. Disamping itu semua sebuah negara yang diperintah oleh perorangan yang ditangannya segala kekuasaan, walaupun sebenarnya bersandarkan pada syura atau pembai'atan, namun sang penguasa bisa mengambil apa saja dari keputusan-keputusan, dan bagi umat untuk memperhitungkannya jika ada kesalahan di dalamnya.
Singkat kata bahwa sistem ini adalah sistem keagamaan yang bersandar pada sistem syuura. Kekuasaan diserahkan kepada seseorang yang dipilih oleh Ahlu hilli wal-aqdi (para cerdik dan bijak) dari kalangan bangsa Arab untuk kemudian diakui oleh mayoritas rakyat, dan ia yang terpilih bertanggung jawab kepada mereka. Sedang tanah wilayah negara sepenuhnya milih seluruh umat. Juga semua harta harus masuk ke tangan para fakir setiap empat puluh tahun sekali untuk dibelanjakan demi hajat diri mereka. Dan tujuan kekuasaan untuk yang pertama dan terakhir adalah kemaslahtan umat di dunia dan akherat.
Ini adalah pendahuluan singkat yang bisa mempermudah memasuki peristiwa-peristiwa sejarah, juga memudahkan pemahaman peristiwa fitnah yang terjadi pada masa Utsman. Maka dari sini bahwa kabilah-kabilah Kahlani dan Qahthaani terdiri dari bangsa badawi (berpindah-pindah) dan bangsa yang menetap. Disini nampaknya perlu diperhatikan saat pembahasan pembagian ini antara badawi (pindah-pindah) dan hadhr (tetap).
bacodulu.site - Bisyarah atau kabar gembira dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam merupakan semangat utama kaum muslimin untuk terus berjuang. Baik melalui Al-Quran atau melalui lisan nabi, kabar gembira itu menjadi kekuatan yang tak mampu diisi oleh siapa pun. Keyakinan terhadap janji-janji yang disampaikan itu menjadi pelecut bagi kaum muslimin untuk merealisasikannya. Sebab, seluruh janji nabi itu pasti akan terjadi. Nabi tidak pernah berbicara kecuali itu sesuai dengan arahan wahyu ilahi.
Sejarah telah mencatat sekian banyak semangat mundurnya Islam berawal dari semangat merealisasikan janji Nabi. Sebut saja pembebasan Syam, Persia dan Yaman oleh para sahabat. Semua itu termotivasi oleh kabar gembira yang menyampaikan Nabi saw perang Ahzab. Demikian juga dengan Kota Mesir, kabar tentang pembebasannya dan pernah menyampaikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam digantung para sahabat.
Sebuah riwayat menyebutkan sesaat setelah wilayah ditaklukkan oleh Amr bin Ash, Ia berkata kepada penduduk kota tersebut, "Wahai penduduk Mesir, nyata Nabi kami telah mengabarkan bahwa Allah akan memberikan Mesir untuk orang Islam dan beliau mewasiatkan agar kami bertindak baik kepada kalian. Beliau bersabda, 'Jika kalian menaklukkan Mesir, maka aku wasiatkan agar kalian berbuat baik kepada orang-orang Qibthi ini. Mereka memberikan kebebasan dan kasih sayang '. ” (HR. Muslim)
Pembebasan Konstantinopel
Kisah-kisah yang terakhir dari kisah yang cukup fenomenal adalah kabar pembebasan Konstantinopel. Dalam sabdanya, Nabi sallallahu 'alaihi wasallam Menyampaikan kabar gembira kepada para sahabatnya , “Kota Konstantinopel akan dilemparkan ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baiknya pasukan. ” (HR. Ahmad)
Lalu dalam riwayat lain, salah seorang sahabat Nabi, Abu Qubail bercerita, “Ketika kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya, 'Kota yang akan disambungkan terlebih dahulu; Konstantinopel atau Roma? ' Abdullah meminta kotak dengan lingkaran-lingkaran miliknya. Kemudian dia mengeluarkan kitab. Lalu ia berkata, 'Ketika kita sedang menulis di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau menjawab:
أي المدينتين تفتح أولا: أقسطنطينية أو رومية؟ فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: مدينة هرقل تفتح أولا. يعني: قسطنطينية
Dua kota ini yang lebih dulu: Konstantinopel atau Roma? ' Rasul menjawab, 'Kota Heraklius diputar lebih dahulu.' Yaitu: Konstantinopel '. ” (HR. Ahmad, ad-Darimi dan al-Hakim)
Hadits ini dinyatakan shahih oleh al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Sementara Abdul Ghani al-Maqdisi berkata, “Hadits ini hasan sanadnya.” Syaikh Al-Albani sependapat dengan al-Hakim dan adz-Dzahabi yang hadits ini shahih. (Lihat Silsilah Ahadits al-Shahihah 1/3)
Layaknya sebuah sayembara, janji yang diperas untuk memotivasi setiap kaum kaum muslimin untuk merealisasikannya. Sejarah mencatat bahwa upaya serius penaklukan Konstantinopel telah terjadi saat masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan (668-669 M). Namun karena kuatnya pertahanan musuh, pasukan Islam yang dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah, belum mampu menaklukkan kota tersebut. Saat pengepungan ini, salah seorang Sahabat Nabi, Abu Ayyub Al Anshari wafat lalu Beliau dimakamkan di dekat dinding Konstantinopel sesuai wasiatnya.
Kota Konstantinopel memang terkenal dengan kota yang paling aman pada masanya. Kota ini dilindungi oleh benteng-benteng yang kokoh. Ia juga memiliki benteng alam berupa tiga lautan yang mengelilinginya, yaitu selat Basphorus, laut Marmara dan Tanduk Emas yang dijaga dengan rantai besar sangat penting untuk kapal musuh untuk masuk ke dalamnya. Sementara itu daratannya dijaga dengan benteng yang kokoh yang terbentang dari laut Marmara sampai ke Tanduk Emas. Dari segi kekuasaan militer, kota ini adalah kota yang paling aman dan terlindungi, karena di antaranya ada pagar-pagar yang tinggi menjulang, menara pengintai yang kokoh dan ditambah dengan serdadu Bizantium di setiap penjuru kota. Maka wajar jika wilayah itu sangat sulit untuk bisa ditaklukkan.
Namun demikian, cita-cita untuk membebaskan Konstantinopel tidak pernah berhenti. Perjuangan berikutnya terus diwarisi oleh Daulah Abbasiyyah. Pada masa Khalifah Al-Mahdi, ia mengirim ekspedisi-ekspedisi musim panas ke wilayah wilayah Imperium Bizantium sejak 163 H / 779 M. Saat itu, Al-Mahdi mengirim sebuah ekspedisi musim panas yang langsung dipimpin puteranya Harun Ar-Rasyid yang ditujukan untuk mengepung Konstantinopel. Hingga pada 166 H / 782 M, Harun Ar-Rasyid kembali ke posisi musim panas yang memiliki sembilan puluh lima ribu personel. Ekspedisi ini tiba sampai di laut yang terlupakan Konstantinpel.
Setelah kota Baghdad jatuh pada tahun 656 masehi yang menjadi akhir Dinasti Abbasiyah, usaha kebebasan Konstantinopel tetap diteruskan oleh kerajaan kecil di Asia timur terutama kerajaan Saljuk yang dipimpin oleh Alip Arselan sampai ke Daulah Turki Utsmaniyah pada pemerintahan, Bayazid I (795- 803 H / 1393-1401 M) dan Sultan Murad II (1422 M). Tapi usaha tetap masih ada.
Upaya pembebasan terus berlanjut. Sampai saat setelah abad lebaran, Allah mengabulkan agama Islam itu melalui Sultan Muhammad Al-Fatih, pemimpin ketujuh dari Daulah Utsmaniyah. Sejarah menceritakan bahwa Muhammad Al-Fatih adalah seorang yang saleh. Saat baligh, Al-Fatih tidak pernah meninggalkan kewajibannya dan senantiasa memperbanyak amalan sunnah. Setelah diangkat menjadi raja, Al-Fatih langsung melanjutkan tradisi para pendahulunya untuk terjun langsung dalam penaklukan Konstantinopel.
Al-Fatih memperbanyak jumlah pasukannya hingga mencapai 250.000 personil. Angka ini merupakan jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah tentara pada saat itu. Memperkuat pelatihan pasukan dengan berbagai kesenian tempur dan ketangkasan bersenjata, membuat mereka memiliki kemampuan tempur tingkat tinggi, untuk mendukung operasi jihad yang ditunggu-tunngu. Tidak ketinggalan, beliau juga menanamkan nilai-nilai tauhid dan keislaman pasukannya yang benar-benar memiliki ruh jihad yang kuat.
Setelah hampir dua bulan melakukan pengepungan dan serangan, yaitu dari 26 Rabi'ul Awal hingga 19 Jumadil Ula 857 H (6 April - 28 Mei 1453 M), dan dengan mengerahkan berbagai strategi termasuk mengirim kapal-kapal melalui bukit, membuat terowongan-terowongan, dan membuat benteng dari kayu, akhirnya pada 20 Jumadil Ula 857 M (29 Mei 1453 M) Konstantinopel berhasil dibebaskan pasukan Islam. (Lihat: Ali Muhammad Ash-Shalabi, Ad-Daulah Al-'Utsmaniyyah: 'Awamilu An-Nuhudh wa Asbab As-Suquth , hlm. 87-107)
Penaklukan Roma, Kabar Gembira yang Belum Terwujudkan
Nubu'at Nabi tentang penaklukkan Konstantinopel telah terbukti dan berhasil diwujudkan oleh Muhammad Al-Fatih. Ia menjadi figur pemimpin yang terbaik dan pasukannya menjadi pasukan terbaik yang berhasil merealisasikan janji Nabi. Lalu kembali ke hadis shahih di atas, yaitu kompilasi Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam ditanya, “Kota yang lebih dulu, Konstantinopel atau Roma?” Kemudian Rasul menjawab, “Kotanya Heraklius melepaskan lebih dulu, yaitu Konstantinopel,” (HR. Ahmad)
Tidak hanya Konstantinopel, hadis di juga dari kabar Rasul gembira dari Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bahwa orang Islam akan berhasil menyelesaikan Roma. Berdasarkan hadits tersebut, secara kronologi, pembebasan Roma terjadi setelah pembebasan Konstantinopel. Salah satu kisah yang menyebutkan bahwa kabar gembira itu disebutkan Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam sampaikan tatkala Islam di masa-masa sulit saat menyiapkan parit untuk menghadang pasukan koalisi Bangsa Quraisy pada Perang Ahzab.
Dalam kitab Mu'jam al-Buldaan , karya Yakut al-Hamawi dijelaskan bahwa Maksud Rumiyahhearts hadis di differences Adalah ibu kota Italia hari Penyanyi, Yaitu Roma. ( Mu'jam al-Buldan , 3/100) Setelah pembebasan Konstantinopel yang tujuh abad yang lalu, hingga saat ini Islam belum berhasil mengeluarkan kota Roma. Penyebutan Roma setelah Konstantinopel kebebasan merupakan mukjizat terpisah karena hingga sekarang Roma merupakan simbol agama Nasrani dan juga peradaban Romawi (Barat).
Memang Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallamtidak secara tegas menyebutkan kapan pembebasan Roma terjadi dan siapa aktornya seperti pada pembebasan Konstantinopel. Akan tetapi yang pasti adalah pembebasan Roma tidak akan terjadi lagi setelah Muslim yang memiliki kekuatan yang sangat besar, yaitu kekuatan yang sama atau bahkan lebih dari kekuatan Islam. Kekuatan itu hanya mungkin dilakukan dalam bahasa Islam yang telah ditegakkan berdasarkan metode kenabian, termasuk komentar Syaikh Al-Albani yang mengomentari hadits di atas. Ia menulis;
“Penaklukan pertama (Konstantinopel) telah berhasil direalisasikan melalui tangan Muhammad Al-Fatih al-'Utsmani. Seperti yang telah diketahui, penaklukan itu terealisasi setelah lebih dari delapan ratus tahun karena kabar gembira yang disampaikan oleh Nabi saw. Dan pembebasan kedua (yaitu penaklukan kota Roma) dengan izin Allah juga akan terealisasi. Sungguh, beritanya akan Anda melindungi pada bulan berikutnya. Tidak diragukan juga bahwa pembebasan kedua itu menuntut kembalinya Khilafah Rasyidah ke tengah-tengah Muslim. ”(Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, jld. 1, hlm. 33, tidak ada hadits. 1329)
Bukan tugas yang dilakukan untuk memastikan kapan itu terjadi, sebab ini merupakan perkara gaib. Namun, jika dicermati lebih dalam, ada banyak karakter yang bisa masuk ke dalam, yaitu tidak lepas dari jihad fi sabilillah, pengerahan pasukan, dan peperangan besar di akhir zaman. Tugas muslim tidak menunggu. Tapi terus-menerus agar agar bisa bergabung dengan mereka saat Allah menakdirkannya selama itu. Dan salah satu persiapannya adalah mencintai jihad fi sabilillah dan mengondisikan agar siap untuk berjihad. Wallahu 'alam bis shawab!
Penulis: Fakhruddin
Editor: Arju
Oleh: M Muhar Omtatok
Revolusi Sosial Sumatera Timur disebut oleh sebagian sumber merupakan gerakan sosial di Sumatera Utara Bagian Timur, terhadap penguasa Kesultanan dan Kerajaan Melayu yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946. Masih menurut sebagian sumber, Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan anti feodalisme. Revolusi melibatkan mobilisasi orang terorganisir yang berujung pada pembunuhan Sultan, anggota keluarga kesultanan dan Kerajaan Melayu, golongan menengah pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi Republik Indonesia.
Beberapa saksi mata mengatakan,
“Ini bukanlah Revolusi Sosial, tetapi pembantaian besar-besaran”.
“Tak usahlah ditabalkan nama peristiwa ini menjadi Revolusi Sosial. Tak ada itu! Ini Pembunuhan masal di Sumatera Timur yang mesti diusut dan kebenaran sejarah mesti diluruskan”.
“Maret berdarah di Sumatera Timur adalah pembantaian masal”.
Apapun itu namanya, mereka yang telah membangun Pesisir Timur Sumatera Utara ini, telah dibunuh secara sadis, perempuan-perempuan diperkosa di hadapan ayahanda dan keluarganya, harta benda dirampas layaknya penggarap merampas hak ulayat.
Yang selamat dan hidup saat itu, harus lari bersembunyi entah kemana membawa nasib, dari satu kampung ke kampung lain, bahkan ada yang ketakutan hingga terdampar ke luar negeri.
Ini sebuah traumatik terwaris yang semestinya ada setawar sedingin bagi mereka dan turunannya di Sumatera Timur ini.
Coba lah kita amati photo photo lampau Sumatera Timur (kini berada di Provinsi Sumatera Utara), yang dahulu indah dengan istana-istana yang berornamen seni tinggi; di saat itu, dibakar habis. Istana Darul Aman Kesultanan Langkat diserbu dan dibakar, Istana Keraton Kota Galuh Kesultanan Negeri Serdang dijarah, Puri Kesultanan Deli dijarah hingga banyak bangsawan Deli diungsikan ke Malaya. Demikian juga di Asahan, Kualuh, Panai, Bilah, Kota Pinang, dan memporak porandakan Bedagai, Padang - Tebing Tinggi, dan beberapa wilayah batubara dan lainnya.
Alahai, semua negeri di Sumatera Timur sama rata mengalami peristiwa menyedihkan, Seluruh negeri negeri Melayu, Simalungun hingga Karo. Para pembantai seperti diseluk syetan, lesap hilang prikemanusiaan.
Sebetulnya perih hati mengisahkan peristiwa lampau nan masih berbekas hingga kini, entah bila terobati luka meruyak.
*
Di Tanjung Pasir, kini berada di Kabupaten Labuhanbatu Utara, ada sebuah Kesultanan Melayu bernama Kualuh. Malam itu, 3 Maret 1946, sebagian besar penghuni Istana Kualuh sedang terlelap, dan ada pula yang sedang sholat. Tiba-tiba terdengar suara pintu dipukul-pukul keras dari luar.
“Mana Tengku Besar? Mana Tengku Besar?” teriak orang-orang yang datang dengan senjata tajam. Tengku Besar adalah gelar bagi Tengku Mansoer Sjah, putra Sultan Kualuh. Rupanya, malam itu Tengku Mansoer Sjah tidak tidur di istana, tapi di rumah yang lain.
“Tuanku mana? Mana Tuanku?” Tuanku adalah panggilan bagi Tuanku Al Hadji Moehammad Sjah, Sultan Kualuh.
Dengan paksa, Tuanku yang sedang beribadah itu, mereka bawa ke kuburan Cina, Lalu Tengku Besar juga dijemput dan dibawa ke tempat yang sama.
Tengku Darman Sjah, adik Tengku Besar, malam itu sedang berada di kuburan istrinya yang baru saja meninggal dunia. Dia tak henti membacakan ayat-ayat Al-Quran. Malam itu, dia pun ikut dibawa. Di kuburan Cina itu mereka disiksa. Lalu ditinggalkan.
Pagi harinya, seorang nelayan yang lewat melihat tubuh mereka terkapar tapi masih bernyawa. Dengan bantuan masyarakat, dibawalah ketiga keluarga kesultanan tadi ke istana untuk kemudian dirawat.
Tapi, sekitar pukul 11 siang, datang lagi sekelompok orang yang ingin membawa sultan dan kedua putranya. Mereka orang yang berbeda dari yang datang di malam sebelumnya.
“Rakyat menginginkan Tuanku dan kedua putranya dibawa ke rumah sakit,” kata salah seorang dari mereka.
“Usahlah, biar kami saja yang urus,” ujar istri Sultan.
Tapi sekelompok orang yang datang itu memaksa tanpa ada adab bersopan. Dan kerabat istana tak dapat berbuat apa-apa. Mereka pun dibawa entah ke mana dan hingga kita tak pernah terkabar. Kerabat istana yang lain, termasuk perempuan ditawan selama lebih dari satu bulan. Mereka dibawa ke sana kemari, dari Rantau Prapat hingga Siantar, mereka disiksa bathin dan kejiwaan.
“Bila kalian hendak membunuh kami, tunggulah Obang (Azan) selesai dikumandangkan, dan izinkan kami sembahyang sekejap. Ini permintaan kami kepada kalian yang tak satupun kami kenal ini”, pinta Tuanku.
“Ah, tak penting sholat. Bunuh mereka !”, perintah pemimpin pembunuhan itu.
Tersayat hati mengenang peristiwa pembunuhan ini. Tak terhitung berapa banyak korban di Kualuh, Panai, Kota Pinang, atau juga Sultan Bilah – Tuanku Hasnan terbunuh beserta sekian banyak lainnya.
“Macam ditetak sebatang buluh,
Ditetak buluh kecai terbelah;
Macam tak bertuhan mereka membunuh,
Mangkatlah bangsawan tiada bersalah”
*
Di Kesultanan Langkat, peristiwa ini pun tak kurang menyedihkan. Tak sedikit perempuan diperkosa dihadapan orangtuanya, lelaki dibantai teramat sangat mengejamkan. Di Kesultanan kaya ini, kehilangan banyak petinggi yang bermutu dan pakar.
Adalah Tengku Amir Hamzah, seorang sastrawan, Pangeran Langkat hulu serta wakil Pemerintah Republik Indonesia, juga turut dibunuh.
Pada 7 Maret 1946 dengan kendaraan terbuka, Tengku Amir Hamzah dan lainnya dijeput paksa. Saat itu ia berbaju putih lengan panjang, ia sempatkan melambaikan tangannya pada orang-orang yang ingin menyalaminya di jalan. Bersama tahanan lain, Amir dikumpulkan di Jalan Imam Bonjol - Binjai, lalu dikirim ke perladangan Kuala Begumit untuk disiksa dan dibunuh.
Anehnya, beberapa orang pemuda ternyata sempat mendatangi Tengku Kamaliah, istri Amir Hamzah, untuk memintakan apa-apa yang kiranya perlu dikirimkan kepada Tengku Amir Hamzah di camp penyiksaan.
“Ini lah daku titipkan teruntuk suamiku, juadah satu siya(rantang)- masakan Melayu. Dan ini sehelai kain sembahyang, dan sepasang baju teluk belanga putih, kerana Ku Busu tak lepas dari menderas Al qur’an saban hari, bawakan lah ini Al qur’an untuk beliau”, ujar Tengku Kamaliah.
Di tempat yang lain di Kuala Begumit, nyatanya pakaian Tengku Amir Hamzah diambil, diganti dengan celana goni. Para tahanan diperintahkan menggali lubang; untuk kuburan mereka sendiri.
Satu demi satu para tahanan ditutup rapat matanya. Tangan diikat kuat ke belakang.
Sang algojo ternyata tak lain adalah Mandor Iyang Wijaya.
Sebelum melakukan pembunuhan, ia mengabulkan permintaan terakhir Tengku Amir Hamzah. Tengku Amir Hamzah meminta dua hal.
Pertama, ia meminta tutup matanya dibuka karena ingin menghadapi ajalnya dengan mata terbuka. Kedua, Tengku Amir Hamzah meminta waktu untuk sholat sebelum hukuman dijatuhkan.
Kedua permintaan Tengku Amir ini entah kenapa dikabulkan mereka.
Usai sholat, Sang Pujangga pun menerima ajalnya. Ia pergi menghadap Allah dalam usia 35 tahun dengan Kepala terputus dari badan.
“Aduhai dimana batang jerami,
Batang jerami usah dikerat;
Alahai dimana hati nurani,
Membunuh pejuang kekasih rakyat”
*
Pada tarikh 7- 8 Maret 1946, para Bangsawan Melayu Batubara diculik dan dikumpulkan di Labuhan Ruku.
Kemudian pada hari selasa 12 Maret, mereka dibawa ke penjara di Pematang Siantar.
Tak lama berselang, pada 26 Maret 1946 mereka dibawa lagi di Kampung Merdeka Berastagi, tanpa kepastian untuk apa bahkan diintimidasi.
Di tanggal 30 Juni, mereka dibawa lagi ke Raya Simalungun.
Selanjutnya pada 1 Juli 1946 dipindahkan ke Bah Birong.
Bangsawan Perempuan dibawa ke Tanjung Balai pada 23 Maret 1946 - Juli 1946. Mereka ditawan dan hanya diberi makan dari bahan makanan ternak.
Semua harta benda dirampas dan tanah mereka sudah dipancang.
Kaum bangsawan yang dipulangkan, terpaksa hidup di ladang dan hutan.
Penyiksaan dan pembunuhan tak terhitung jumlahnya. Ada yang matanya dicongkel, kemaluan disayat sayat. Bahkan ada yang dicincang dan dibuang ke laut.
Sebut saja beberapa korban, yaitu: Tengku Nur bin Tengku Busu Abdul Somad Indrapura, Tengku Anif Indrapura, Wan Bakhtin kemanakan Wan Sakroni Tanah Datar, Orang Kayo Syahbandar Indrapura, Orang Kayo Achmad cucu Datuk Limo Puluh, Orang Kayo Musa juru tulis Datuk Limo Puluh, Saudagar Sohor dari Sungai Balai Kedatukkan Suku Duo.
*
Ada lah pula Tengku Sortia bin T alhaji Jamta Melayu, cucu dari Tengku Tebing Pangeran, ia adalah Tengku Penasihat Negeri Padang di Tebing Tinggi. Saat itu ahad malam 3 maret 1946, beliau sedang berada di rumah perkebunan Tongkah milik kerajaan di wilayah Kampung Muslimin yang kini terletak antara Simalungun dan Serdang Bedagai. Bersama istrinya, Panakboru Nunum Purba gelar Puang Maimunah dan anak-anaknya, ia didatangi Barisan Harimau Liar.
“Raja mana… Raja mana!”, ucap rombongan. Tengku Sortia digelari Raja , karena beliau pemimpin tertinggi di perkebunan tembakau itu.
“Rajo sodang sembahyang Isya, Kojap yo”, ujar Puang Maimunah.
Sebelum berujung kalimat Puang Maimunah, rombongan terus memasuki rumah dan membawa Tengku Sortia yang sedang bersujud dalam sholatnya.
Puang Maimunah mengikuti dari kejauhan. Dan Tengku Sortia dibawa ke tepi sungai deras, tidak diketahui apa yang terjadi. Bisa saja dibunuh sadis dan dihanyutkan ke sungai. Yang pasti rumah panggung milik beliau dijarah dan dibakar.
Hingga akhir hayatnya Puang Maimunah seperti hilang kesadaran, acapkali ia menyusuri sungai, acapkali pula ia menangis mengharapkan suaminya kembali.
“Begitu pisau hendak diasah,
Usah nafsu diperturutkan;
Begitu perih mengenang kisah,
Sebuah sejarah yang menyedihkan”
*
3 Maret 1946, azan subuh belum lagi berkumandang di Tanjung Balai, Kesultanan Asahan.
Ketika itu, Tengku Muhammad Yasir - cucu Sultan Asahan yang ke X - Tuanku Muhammad Husinsyah, menyambut kedatangan ayahandanya yang baru tiba dari istana. Ayahnya baru pulang berjaga-jaga karena terdengar kabar akan ada penyerangan.
Rumah keluarga Tengku Yasir tak jauh dari Istana Asahan. Kedua lokasi tersebut sama-sama berada dalam lingkaran Kota Raja Indra Sakti, yang di tengahnya terhampar lapangan hijau.
Ketika itu, Tengku Yasir, yang berusia 15 tahun, membukakan pintu untuk ayahandanya. Dia lalu menatap ke arah lapangan hijau di depan rumahnya. Ada sekelompok orang merayap ke arah istana. Yasir melihat pakaian mereka biasa saja. Tapi, mereka membawa senjata api juga senjata tajam.
“Ontu(ayahanda) , tengoklah itu, Ntu!” ujar Yasir pada sang ayah sambil menunjuk ke arah lapangan. Melihat apa yang terjadi, mereka kemudian masuk ke rumah.
Pukul enam pagi itu, istana diserang sekelompok orang. Tuanku Sjaiboen Abdoel Djalil Rachmatsjah, Sultan Asahan waktu itu, dapat melarikan diri dari belakang istana. Dia berlari disesuatu tempat yang tersembunyi.
Satu jam kemudian, sejumlah orang datang ke rumah Tengku Yasir. Dia dan ayahnya dibawa. Tapi Tengku Yasir kesulitan berjalan karena tapak kakinya sedang sakit dan diperban. Melihat kaki Yasir yang sakit dan mengeluarkan bau tak sedap, dia tak jadi dibawa. Tengku Yasir pun lari ditengah sakitnya, menyelamatkan diri ke rumah Tengku Haniah, kakak sepupunya.
Rupanya, di rumah itu pun tak ada lagi lelaki. Semua sudah diculik sekelompok orang yang melakukan penyerangan. Dan tak lama datang lagi sekelompok orang untuk membawa mereka.
Sebuah dokumen Belanda memperkirakan bahwa revolusi sosial 1946 ini menelan korban pembunuhan sebanyak 1200 orang di Asahan, belum lagi di negeri-negeri lain di Sumatera Timur. Dari Sungai Londir saat dievakuasi dikemudian hari, menemukan banyak kerangka korban yang terkubur tak teratur, bahkan ada di dinding-dinding tanah.
*
Sebetulnya masih banyak yang hendak saya kisahkan dari peristiwa nyata yang mengharukan ini. Namun tak kuat saya melanjutkan untuk menuliskan kisah-kisah kebenaran sejarah ini. Terlalu sedih hati menuliskan kekejaman masa lalu yang berbekas hingga kini di hati puak Melayu di Sumatera Utara.
Aduhai Datuk Keramat Tasik Sijenggi,
Sedih pilu Bentan Telani;
Duhai Allah, begitu perih hati kami,
Mengenang kisah kekejam ini
Sumber : puakmeyalu.blogspot.com
BENARKAH KISAH PERNIKAHAN FATIMAH;
Fatimah yang merupakan putri dari Rasulullah sangat taat kepada Rasulullah. Fatimah juga dikenal sebagai sosok anak yang sangat berbakti kepada orang tua. Ali Bin Abi Thalib terketuk pertama kali saat Fatimah dengan sigap membasuh dan mengobati luka ayahnya, Muhammad SAW yang luka parah karena berperang.
Sejak saat itu, Ali bertekad untuk melamar putri dari Rasulullah yaitu Fatimah. Ali juga dikenal sebagai sosok yang pemberani dan orang yang sangat dekat dengan Rasulullah. Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, Ali merupakan orang kedua yang percaya akan wahyu itu setelah Khadijah, istri Rasulullah. Namun, Ali merupakan sosok pemuda yang miskin. Hidupnya dihabiskan untuk berdakwah di jalan Allah. Untuk itu, dia bertekad untuk menabung dengan tekun untuk membeli mahar dan melamar Fatimah.
Belum genap uang Ali untuk membeli mahar, tiba-tiba Ali mendengar bahwa sahabat nabi yaitu Abu Bakar telah melamar Fatimah. Ali pun merasakan kesedihan di hatinya. Namun, Ali pun sadar bahwa saingannya ini mempunya kualitas iman dan islam yang lebih tinggi darinya.
Kesedihan Ali pun berhenti sejenak karena Fatimah menolak lamaran Abu Bakar.
Tetapi keceriaan Ali mulai redup kemballi mendengar bahwa Umar Bin Khatab melamar Fatimah. Lagi-lagi, Ali hanya bisa pasrah karena bersaing dengan Umar Bin Khatab yang gagah perkasa. Tetapi, takdir kembali berpihak kepada Ali. Umar Bin Khatab ditolak lamarannya oleh Fatimah.
Namun saat itu Ali belum berani mengambil sikap, dia sadar bahwa dia hanya pemuda miskin. Bahkan harta yang dia miliki hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kami tidak pernah menjumpai riwayat yang menyebutkan kisah pernikahan sedetail dan serinci itu. Riwayat yang kami jumpai sebagai berikut,
[1] Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
خَطَبَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رضى الله عنهما فَاطِمَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّهَا صَغِيرَةٌ ». فَخَطَبَهَا عَلِىٌّ فَزَوَّجَهَا مِنْهُ
Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah melamar Fatimah. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Dia masih kecil.’ Kemudian Fatimah dilamar Ali, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahnya dengan Fatimah. (HR. Nasai 3234, Ibn Hibban 6948 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
[2] Riwayat dialog antara Ali dengan mantan budaknya sebelum menikahi Fatimah
Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Sirah Nabawiyah dan al-Baihaqi dalam ad-Dalail, dari Ali radhiyallahu ‘anhu,
Aku ingin melamar Fatimah. Lalu mantan budakku menyampaikan kepadaku,
“Tahukah kamu bahwa Fatimah telah dilamar?”
“Tidak tahu.” Jawabku.
“Dia telah dilamar. Mengapa kamu tidak segera datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dinikahkan dengannya?” Jelas mantan budakku.
“Saya punya apa untuk menikah dengannya?” jawabku.
“Kalau kamu datang ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau akan menikahkanmu.” Kata mantan budakku.
Dia terus memotivasi aku sampai aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika aku duduk di depan beliau, aku hanya bisa terdiam. Demi Allah, aku tidak bisa bicara apapun, melihat wibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ما جاء بك، ألك حاجة؟
“Kamu datang, ada apa? Ada kebutuhan apa?”
Aku hanya bisa diam.
Beliau tanya ulang,
لعلك جئت تخطب فاطمة؟
“Kamu datang untuk melamar Fatimah?”
“Ya.” Jawabku.
Tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وهل عندك من شيء تستحلها به؟
“Kamu punya sesuatu yang bisa dijadikan untuk maharnya?”
“Gak ada, Ya Rasulullah…” jawabku.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
ما فعلت درع سلحتكها؟
Bagaimana dengan tameng yang pernah aku berikan kepadamu?
“Demi Allah, itu hanya Huthamiyah, nilainya tidak mencapai 4 dirham.” Jawabku.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenikahkan Ali dengan Fatimah dengan mahar tameng Huthamiyah.
Dalam riwayat Ahmad dan Nasai, dinyatakan,
Aku menikahi Fatimah radhiyallahu ‘anha. Aku berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ya Rasulullah, izinkan aku untuk menemui Fatimah”
“Berikan mahar kepadanya!” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Aku tidak punya apapun.” Jawabku.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
فأين دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّة؟
“Mana tameng Huthamiyah milikmu?”
“Ada di tempatku.” Jawabku.
“Berikan kepadanya!” perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ahmad 603, Nasai 3388 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Sumber : kisahmuslim.com
Foto : Ilustrasi |
Jika sejarah pada masa Islam akan dipelajari secara teliti dan dalam, wajib untuk mengetahui sistem negara yang dianut pada zaman tersebut. Sistemlah yang memberikan kepada suatu zaman bobot nilainya, karena dialah yang menghadapinya dan terjadi didalamnya aliran-aliran yang bermacam-macam. Bahkan sistem ini jikalau kita mengambilnya pada akhir masa Umar bin Al-Khatab, dapatlah kita memahami sebuah negara Islam secara paripurna khususnya pada perkara-perkara yang besar.
Maka sistem yang ada pada masa Umar adalah sistem yang terkonsentrasi pada urusan khilafah, yaitu memberi tafsiran kepada kita tentang peristiwa-peristiwa pada masa Islam, bahkan pada masa dinasti Umawiyah.
Hanya saja sistem ini tidak diletakkan sekaligus melainkan secara berangsur, satu bagian datang pada suatu waktu kemudian diikuti bagian lain setelahnya. Dan peristiwa-peristiwa itulah yang memberi gagasan sistem tersebut, karena ialah yang merekamnya. Kejadian-kejadian itu berjalan dengan "cepat meskipun saat itu belum ada dipuncak kepala negara Islam dua orang laki-laki yang mengecilkan lafal keagungan dihadapan urusan keduanya, serta membahayakan arus kejadian yang ditaruh sistem itu, maka didapatlah didalamnya penyakit dimana menimbulkan keributan dan ketidakstabilan. Namun Abu bakar dan Umar mampu bersikap sebaik-baiknya dengan kecerdasan yang langka ditemukan dalam sejarah, dan dengan baik jejak keduanya diikuti Utsman pada enam tahun pertama dari masa kekhilafahannya, sampai zaman terjadinya tragedi fitnah. Dan meskipun kejadian itu berlari dengan cepat namun pikiran tiga khalifah tersebut juga berlalu secepat kejadian itu, bahkan terkadang peristiwa yang terjadi mendahului benak pikiran mereka, namun mereka selamanya jernih pikiran, teroganisir, jauh jangkauan, dan dalam pandangannya.
Jika terhitung bahwa Umar bin Al-Khatab sebagai khalifah yang paling lama memerintah maka dialah yang banyak meletakkan bagian terbesar dari sistem tersebut, juga memeliharanya dari arah yang salah. Seandainya masa khilafahnya bertahan lebih lama dari yang sebenarnya maka sistem pemerintahan ini akan lebih mendalam, lebih bermaslahat, dan lebih luas.
Foto diambil dari google |
Disebutkan bahwa sistem pemerintahan di masa Khulafa Rasyidin bisa dikatakan menganut sistem sosialis (isytirakiyah), seperti akan nampak jelas pada uraian pembahasan sistem keuangan negara tersebut.
Sumber kekayaan utama sistem ini dari sisi keuangan adalah sumber pemasukannya, dimana negara memusatkan perhatiannya dan menjadikan sebuah masyarakat yang cenderung kepada sistem sosialis, yang memiliki ciri utama sebagian besar tanah adalah milik negara. Tapi sebagian tanah tetap milik perorangan apabila pemilikannya sebelum terjadinya futuhat.
Sistem keuangan ini juga bercirikan bahwa semua orang semestinya hidup dalam tingkat kehidupan yang standar dan wajar, tidak hidup mewah dan tidak turun dibawah garis kemiskinan. Negara hendaknya memperhatikan nasib kaum fakir miskin dan memberi haknya. Inilah sistem Islam yang diletakkan atas dasar Al-Quran dan sunnah. Setidaknya sistem ini mendapat uraian terinci pada masa khalifah Umar bin Al-Khathab yang memanfaatkan pengelolaan wilayah-wilayah yang dibuka (futuhaat) dan sistem didalamnya. Sampai sistem ini mapan dan matang dengan perkembangan pemikiran Islam dan kebutuhan daerah-daerah yang dibebaskan tersebut.
Negara-negara yang tadinya dibawah kekuasaan Romawi dan Parsi masa dahulu wajib membayar pajak dalam jumlah yang Besar, walau seluruh rakyatnya tidak membayar pajak. Ada lapisan tertentu di masyarakat yang tidak menunaikan apapun ke lumbung negara, tapi ada lapisan lain yang memberikan pajak hartanya kepada orang lain yang menyandarkan hidup darinya, mereka adalah pemuka agama. Dan pajak-pajak tersebut banyak jenisnya pada tanah-tanah tersebut yang amat dirasakan oleh rakyat, dimana mereka wajib menyerahkan kepada penguasa apa-apa yang menjadi penghidupannya berupa bulir-bulir bijian yang banyak. Sedang mereka bekerja dan menyerahkan hasil pekerjaannya seluruhnya seakan-akan hal itu sesuap makanan bagi mereka.
Kemudian datanglah masa pembebasan (futuhat), maka kaum muslimin menguasai mayoritas tanah-tanah tersebut yang tadinya dibawah kekuasaan Parsi dan Romawi. Tadinya dalam ketentuan hukum pembebasan (fath) dan peperangan bahwa tanah-tanah dan apa-apa yang ada di dalamnya adalah milik para tentara pembebas (al- faatihun), namun beberapa shahabat yang ikut serta dalam pembebasan tersebut, terutama dari para pembesar-pembesarnya seperti Saad bin Abi Waqash, Abu ‘Ubaidahidah, dan Amru bin Ash memohon tanah-tanah tersebut dibagi-bagi diantara mereka sebagaimana Rasulullah SAW melakukannya di tanah Khaibar. Maka mereka minta izin dan restu dari para penguasa wilayah dibawah Khalifah Umar bin Al-Khattab tentang perkara ini. Maka Umar mempertimbangkan pendapatnya dalam persoalan ini sebagai berikut: “jika tanah-tanah itu dibagi sesama tentara pembebas (fatihin), maka apa Yang tersisa untuk yang datang sesudahnya? Dan apa yang tersisa dari harta benda untuk membiayai futuhat selanjutnya? Dan apa nasib para pembebas (fatihin) sedang mereka harus memperhatikan lanah-tanah mereka, menanaminya dan mengelolanya, sehingga mereka akan terbuai lupa akan futuhat mendatang?”
Realitanya, bahwa masalah ini amatlah sangat penting, dan Umar bin Al-Khathab sebelumnya telah mempertimbangkannya dari sisi kemaslahatan agama dan kemaslahatan umat, walau persoalan sebenarnya bahwa para pembebas (fatihin) itu berhak untuk membagi tanah-tanah tersebut, tapi apakah hal itu sejalan dengan Fuh Islam?
Sehingga masalah ini menyita waktu cukup besar bagi Umar untuk memikirkannya secara luas. Dan sungguh baginya untuk memenangkan ruh Islam tanpa melanggar teks Al-Quran dan Sunnah. Maka segera ia kembali kepada Al-Quran dan didapatkannya dua ayat, salah satunya menetapkan pembagian tanah pembebasan yang biasanya menyambung dengan suatu daerah dan tanah khusus. Sedang ayat lain mengisyaratkan kepada satu macam yang terbilang dan mencakup umat seluruhnya. Dan telah disebutkan pada satu konteks tertentu bahwa tanah tersebut tidak menyambung dengan perkampungan tertentu melainkan dengan seluruh perkampungan, jadi yang terjadi disini adalah disamaratakan tanpa ada pembatasan. Allah Swt berfirman:
“Apa saja harta rampasan (fa'i) yang diberikan Allah kepada RasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. Juga bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampong halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman: Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.
Ayat ini berkaitan dengan fai' dari penduduk desa secara umum, bukan dari desa tertentu seperti termaktub di dalam Al-Quran untuk kondisi tertentu. Dan ayat mencakup semua lapisan kaum baik fakir, miskin, orang dalam perjalanan (musafir), muhajirin dan anshar kemudian mereka yang datang setelahnya yaitu mencakup umat Islam. Pada ayat ini Umar bin Al-Khathab merenung dan berkomentar: Hendaknya seluruh tanah-tanah tersebut tetap diperuntukan umat dan dari mereka semua tanah¬tanah tersebut ditahan.
Namun ada beberapa sahabat yang tidak sependapat, mereka tetap berpegang pada ayat yang mengizinkan pembagian tanah seperti peristiwa Khaibar, di antaranya Abdurrahman bin 'Auf, Zubair, dan Bilal bin Rabaah. Adapun Bilal yang paling keras didalam hal ini, dimana menentang penahanan tanah-tanah pembebasan dari tangan kaum muslimin.
Dan Umar belum mampu melobi para sahabat walaupun berada disamping pendapatnya beberapa sahabat lainnya seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman, Mu'adz, Abdullah bin Umar dan Thalhah.
Sampai akhirnya Umar terpaksa mengambil ketetapan hukum kepada kaum Anshar, maka mereka memilih lima orang dari suku Aus dan lima lagi dari suku Khazraj dan sang khalifah memaparkan kepada mereka letak perbedaan pendapat serta disebutkan juga bahaya yang mungkin terjadi dari pembagian tanah-tanah hasil pembebasan kepada tentara pembebas (fatihin), sehingga mereka menimbang-nimbangnya kemudian berkata: "Pendapat terbaik adalah apa yang kau lihat wahai Amirul Mukminin" Dari sinilah terjadi kestabilan opini dari apa yang telah ditemukan Umar bin Al-Khathab dalam kejeniusan akalnya dan pemahamannya terhadap ruh syariah.
Dan Umar menulis surat kepada wilayah-wilayah (amshor) apa yang telah tetap dari pendapat tentang masalah ini, dan beliau katakan: “Para tentara pembebas (fatihun) akan mengambil bagiannya dari harta rampasan perang (ghanaim), adapun tanah yang dibebaskan tetap milik kaum muslimin seluruhnya, yang mana diambil hasil dan produknya dan dibagi kepada umat.”
Dan kesulitan kedua yang dihadapi Umar datang dari pembagian devisa (pemasukan) negara. Apa saja dasar yang wajib dikonsentrasikan dalam pembagian devisa tersebut.? Apakah harta dibagikan kepada semua orang dengan merata? Dan pendapat Umar condong kepada pembagian berdasarkan kedudukan dan kelas masing-masing dari mereka. Kata Umar: “Sungguh saya tidak berpendapat bahwa orang yang berhijrah bersama Rasulullah Saw sama haknya dalam harta fayik dengan orang yang pernah memerangi Islam dan memeluknya kemudian”. Bertentangan dengan pendapatnya dalam hal ini Ali bin Abi Thalib. Tapi pendapat khalifah lebih unggul diatas pendapat para penentangnya, sehingga ditetapkanlah system pembagian sesuai kedudukan, Dan diletakkanlah urutan dalam masalah ini yaitu terdiri dari dua sisi: pertama didasarkan kepada hajat orang terhadap harta yang akan dinafkahkan, kedua keterdahuluannya didalam memeluk Islam dan memenangkannya. Dimulailah oleh Umar pertama kali dengan mengedepankan orang-orang yang sangat membutuhkan seperti Qaari' (pembaca) Al-Quran dan fakir yang amat menghajatkan, keduanya mengambil bagiannya yang mencukupinya. Baru kemudian dibagikan kepada golongan yang terdahulu dalam memeluk Islam dan kedekatannya kepada Rasulullah Saw.
Setelah ditaruhnya dasar-dasar ini, timbullah kemudian kendala baru yaitu: Bagaimana mencacah semua orang dan umat seluruhnya dapat terlibat dalam pemanfaatan harta tersebut, sedang hal tersebut sangat besar dan luas, nah bagaimana mendata dan mencacahnya?
Disini, para ahli arif dan bijak memberi petunjuk kepada khalifah untuk meletakkan sebuah kantor untuk orang banyak atau kantor pencatat (sipil) yang mencatat nama-nama orang didalamnya. Perlu disebutkan pada munasabah ini bahwa syair adalah perekam bagi bangsa Arab artinya bahwa syair merupakan pencatat bangsa Arab. Para ahli arif tadi telah mendapatkan hal serupa dari perangkat pencatat tersebut di negeri Kisraa. Maka oleh Umar didirikanlah sebuah diwan (Kantor pencatat) yang disebut diwanul Athaa', dimana direkam didalamnya segala nama-nama yang akan memanfaatkan dari harta-harta tersebut.
Sekarang marilah kita bayangkan bagaimana seorang khalifah dan para pembantunya mampu membatasi nama-nama orang tersebut dalam daftar catatan tadi. Sebelumnya haruslah mereka mengklasifikasikan nama-nama tersebut dalam golongan tertentu dimana mereka termasuk didalamnya agar mereka dapat dicacah didalamnya tanpa terlewatkan satupun. Dan pada masa itu orang-orang dinisbatkan kepada golongan atau sukunya, sehingga tidak mungkin semua orang dicacah kecuali dengan dasar kesukuan tadi. Memang memungkinkan bagi para pemerang agama Islam untuk dibagi berdasarkan kelompok yang diikutinya, tapi kelompok itu sendiri didasarkan pembagian kesukuan. Jadi tidak ada langkah lain disini untuk mencacahnya.
Dan dengan demikian berjalanlah pencatatan nama-nama kaum muslimin yang berhak (mustahik), semuanya sesuai dalam kabilah dan sukunya. Dan dapat dilihatnya bahwa pembatasan disini harus mendapat kepastian dari semua orang didalam kabilahnya, yaitu dalil kepastian yang sebenarnya tidak disengaja.
Kondisi masyarakat menetapkan keberadaan seseorang dalam kabilahnya, kemudian datanglah Islam menghapuskan kefanatikan tersebut dan mengikat persaudaraan antara semua orang. Sampai datangnya sistem keuangan ini mengembalikan dan memperkokoh tatanan kesukuan, dimana tidak ada jalan lain selain dari itu untuk melakukan pencacahan, dan terjadilah apa yang telah terjadi seperti yang akan kita saksikan.
Menghadang didepan Umar problem lain yaitu bagaimana mencacah orang-orang muslimin selain bangsa Arab. Umar mengikuti cara yang dikenal pada masa jahiliyah yaitu setiap kabilah-kabilah biasanya ada orang-orang yang berpihak dan loyal kepadanya dan mereka adalah bagian dari kabilah tersebut. Maka jika seseorang masuk Islam dan bergabung kepada salah satu suku Arab, maka bagi dirinya adalah bagi sukunya dan atas dirinya juga atas sukunya, serta namanya tercantum bersama nama-nama anggota kabilah tersebut. Dan begitulah apa yang dilakukan Umar, namun ia tidak menjadikan aturan ini sebagai kewajiban, bahkan katanya: “Jika ada kaum asing ingin menjadi suku tersendiri maka lakukanlah, maka bagiannya sebagaimana dirinya menjadi pendukung salah satu kabilah Arab". Namun hendaknya dibayangkan disini posisi orang yang masuk Islam tersebut, bukankah merupakan kemaslahatannya atau kebanggaannya apabila ia bernasab kepada satu kabilah Arab dan hak kewajibannya menjadi hak kewajiban kabilahnya.
Tidaklah syak bahwa orang-orang asing non-Arab akan mengutamakan saat pembagian suatu harta pemberian untuk bernisbat kepada kabilah-kabilah Arab daripada membentuk kumpulan khusus diantara mereka. Marilah kita bayangkan bahwa dahulu kala bangsa-bangsa yang berkuasa menganggap bangsa-bangsa yang diperintah sebagai bangsa yang lebih rendah dari mereka sehingga tidaklah bisa dinisbatkan ke bangsa mereka. Sedang Umar bin Al-Khathab telah membuka bagi orang asing (a’zam) peluang ini sehingga mereka mendapatkannya sebagai suatu keistimewaan yang besar sebagaimana mereka pernah menyandangnya.
Begitulah dapat dipahami bagaimana orang-orang asing telah menisbatkan diri kepada suatu kabilah Arab tanpa merasa riskan bahkan sebagai suatu keistimewaan.Hasil dari ini semua bahwa sistem keuangan telah menjadi sistem Arab, dimana pembagiannya telah didasarkan atas asas kabila-kabilah Arab, sehingga akan berdampak dalam sejarah Islam pada umumnya dan sejarah dinasti Umawiyyah pada khususnya.
Selanjutnya pembicaraan beralih kepada tanah kharraaj. Tanah yang telah menjadi milik Allah atau milik umat ini sengaja dibiarkan ditangan para petani pemilik aslinya, agar mereka mengelolanya dan dapat bekerja melaluinya sehingga dapat membayar kharajnya. Namun disamping pajak kharraj ada pajak lain yang pertama adalah jizyah. Disini tidak akan memperpanjang pembicaraan karena pada awalnya jizyah telah bercampur aduk dengan unsur kharraj, sehingga kadang jizyah telah dipakai untuk pembayaran kharraj dan kharraj digunakan dalam pengertian jizyah, sampai kedua istilah ini menemukan jalannya secara stabil untuk selamanya.
Jadi jizyah itu apa-apa yang diambil dari penduduk yang belum memeluk Islam dan menggunakan tanah kharraj untuk membayar apa-apa yang dihasilkan dari tanah tersebut. Dan Jizyah adalah pungutan untuk melindungi non-muslim dan menjamin keamanan mereka, namun mereka tidak dilibatkan dalam peperangan, dan jizyah diserahkan ke baitul-maal dan dibagikan kepada orang-orang yang terdaftar dalam kantor pencatat (diwanul-atha') . Diserahkan ke baitul-maal juga seperlima dari rikaz yaitu apa-apa yang dihasilkan dari dalam perut bumi berupa logam dan harta temuan berharga. Begitu pula kaum muslimin memberikan sepersepuluh dari hasil tanah pertaniannya, apabila mereka memiliki tanah dan mewarisinya. Dan diambil dari para pedagang sepersepuluh hasil keuntungannya dan itu semua dihimpun ke dalam baitul-maal.
Sedangkan sedakah dan zakat dimasukkan ke baitul-maal namun tidak dibagikan kepada golongan atha' tapi dibagikan untuk para kaum fakir miskin karena hak mereka sangatlah jelas, yaitu sesuatu yang diambil setiap tahunnya dari harta kalangan berada (kaya). Yang mana harta umat itu setiap empatpuluh tahun masuk ketangan kaum fakir untuk dibelanjakan dan dimanfaatkan darinya.
Jadi, telah berkumpul di dalam baitul-maal setumpuk harta amat besar yang diambil dari berbagai pihak yang telah disebutkan satu persatu tadi. Dan harta itu selalu dibagikan sehingga tidak tersisa pada baitul-maal kecuali sedikit saja yang wajib untuk kebutuhan masa mendatang. Dan Umar memerintahkan para ‘amilinnya untuk membagikan harta-harta tersebut pada waktunya agar tidak menyengsarakan orang-orang akibat keterlambatan pembagian tersebut.
Umar telah melakukan suatu pekerjaan luar biasa dalam mendata dan mencacah dalam kantor pencatat sipil (diwanul ‘atha'), juga dalam sejumlah tanah-tanah kharraj. Telah bergabung dalam melakukan hal ini Utsman bin Hanif dan Hudzaifah bin Yaman pada sejumlah tanah hitam di negeri Irak, dimana diketahui berapa luasnya dan kemudian dicacah. Dan ini suatu pekerjaan yang amat membanggakan tercatat bagi kedua sahabat ini.
Singkat kata, bahwa sistem keuangan pada masa Khulafaur Rasyidin adalah sistem yang terdiri dari beberapa unsur-unsur sistem sosialis, karena rakyat secara serentak ikut serta dalam memberikan pemasukan kepada negara untuk kembli dibagikan kepada mereka. Dan juga suatu sistem yang beberapa sisinya mengandung unsur kesukuan, karena pembagiannya berdasarkan asas kabilah.
Apa yang dapat disimpulkan dari pemaparan yang lalu tentang pembentukan negara pada masa Khulafa Rasyidin?
Dari pendahuluan yang telah kita kedepankan dapatlah ditemukan penafsirannya sekarang, dimana negara (seperti telah disebutkan) adalah negara musyawarah (syura) mengambil dari rakyat segala keputusan hukum dan sumber kehidupannya, yaitu negara yang segala sesuatunya berpusat pada hukum agama. Yaitu negara yang condong pada sistem sosialis dalam menata sistem keuangannya, dan negara bangsa Arab dalam sistem pendistribusian harta dan militernya. Disamping itu semua sebuah negara yang diperintah oleh perorangan yang ditangannya segala kekuasaan, walaupun sebenarnya bersandarkan pada syura atau pembai'atan, namun sang penguasa bisa mengambil apa saja dari keputusan-keputusan, dan bagi umat untuk memperhitungkannya jika ada kesalahan di dalamnya.
Singkat kata bahwa sistem ini adalah sistem keagamaan yang bersandar pada sistem syuura. Kekuasaan diserahkan kepada seseorang yang dipilih oleh Ahlu hilli wal-aqdi (para cerdik dan bijak) dari kalangan bangsa Arab untuk kemudian diakui oleh mayoritas rakyat, dan ia yang terpilih bertanggung jawab kepada mereka. Sedang tanah wilayah negara sepenuhnya milih seluruh umat. Juga semua harta harus masuk ke tangan para fakir setiap empat puluh tahun sekali untuk dibelanjakan demi hajat diri mereka. Dan tujuan kekuasaan untuk yang pertama dan terakhir adalah kemaslahtan umat di dunia dan akherat.
Ini adalah pendahuluan singkat yang bisa mempermudah memasuki peristiwa-peristiwa sejarah, juga memudahkan pemahaman peristiwa fitnah yang terjadi pada masa Utsman. Maka dari sini bahwa kabilah-kabilah Kahlani dan Qahthaani terdiri dari bangsa badawi (berpindah-pindah) dan bangsa yang menetap. Disini nampaknya perlu diperhatikan saat pembahasan pembagian ini antara badawi (pindah-pindah) dan hadhr (tetap).
bacodulu.site - Bisyarah atau kabar gembira dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam merupakan semangat utama kaum muslimin untuk terus berjuang. Baik melalui Al-Quran atau melalui lisan nabi, kabar gembira itu menjadi kekuatan yang tak mampu diisi oleh siapa pun. Keyakinan terhadap janji-janji yang disampaikan itu menjadi pelecut bagi kaum muslimin untuk merealisasikannya. Sebab, seluruh janji nabi itu pasti akan terjadi. Nabi tidak pernah berbicara kecuali itu sesuai dengan arahan wahyu ilahi.
Sejarah telah mencatat sekian banyak semangat mundurnya Islam berawal dari semangat merealisasikan janji Nabi. Sebut saja pembebasan Syam, Persia dan Yaman oleh para sahabat. Semua itu termotivasi oleh kabar gembira yang menyampaikan Nabi saw perang Ahzab. Demikian juga dengan Kota Mesir, kabar tentang pembebasannya dan pernah menyampaikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam digantung para sahabat.
Sebuah riwayat menyebutkan sesaat setelah wilayah ditaklukkan oleh Amr bin Ash, Ia berkata kepada penduduk kota tersebut, "Wahai penduduk Mesir, nyata Nabi kami telah mengabarkan bahwa Allah akan memberikan Mesir untuk orang Islam dan beliau mewasiatkan agar kami bertindak baik kepada kalian. Beliau bersabda, 'Jika kalian menaklukkan Mesir, maka aku wasiatkan agar kalian berbuat baik kepada orang-orang Qibthi ini. Mereka memberikan kebebasan dan kasih sayang '. ” (HR. Muslim)
Pembebasan Konstantinopel
Kisah-kisah yang terakhir dari kisah yang cukup fenomenal adalah kabar pembebasan Konstantinopel. Dalam sabdanya, Nabi sallallahu 'alaihi wasallam Menyampaikan kabar gembira kepada para sahabatnya , “Kota Konstantinopel akan dilemparkan ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baiknya pasukan. ” (HR. Ahmad)
Lalu dalam riwayat lain, salah seorang sahabat Nabi, Abu Qubail bercerita, “Ketika kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya, 'Kota yang akan disambungkan terlebih dahulu; Konstantinopel atau Roma? ' Abdullah meminta kotak dengan lingkaran-lingkaran miliknya. Kemudian dia mengeluarkan kitab. Lalu ia berkata, 'Ketika kita sedang menulis di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau menjawab:
أي المدينتين تفتح أولا: أقسطنطينية أو رومية؟ فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: مدينة هرقل تفتح أولا. يعني: قسطنطينية
Dua kota ini yang lebih dulu: Konstantinopel atau Roma? ' Rasul menjawab, 'Kota Heraklius diputar lebih dahulu.' Yaitu: Konstantinopel '. ” (HR. Ahmad, ad-Darimi dan al-Hakim)
Hadits ini dinyatakan shahih oleh al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Sementara Abdul Ghani al-Maqdisi berkata, “Hadits ini hasan sanadnya.” Syaikh Al-Albani sependapat dengan al-Hakim dan adz-Dzahabi yang hadits ini shahih. (Lihat Silsilah Ahadits al-Shahihah 1/3)
Layaknya sebuah sayembara, janji yang diperas untuk memotivasi setiap kaum kaum muslimin untuk merealisasikannya. Sejarah mencatat bahwa upaya serius penaklukan Konstantinopel telah terjadi saat masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan (668-669 M). Namun karena kuatnya pertahanan musuh, pasukan Islam yang dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah, belum mampu menaklukkan kota tersebut. Saat pengepungan ini, salah seorang Sahabat Nabi, Abu Ayyub Al Anshari wafat lalu Beliau dimakamkan di dekat dinding Konstantinopel sesuai wasiatnya.
Kota Konstantinopel memang terkenal dengan kota yang paling aman pada masanya. Kota ini dilindungi oleh benteng-benteng yang kokoh. Ia juga memiliki benteng alam berupa tiga lautan yang mengelilinginya, yaitu selat Basphorus, laut Marmara dan Tanduk Emas yang dijaga dengan rantai besar sangat penting untuk kapal musuh untuk masuk ke dalamnya. Sementara itu daratannya dijaga dengan benteng yang kokoh yang terbentang dari laut Marmara sampai ke Tanduk Emas. Dari segi kekuasaan militer, kota ini adalah kota yang paling aman dan terlindungi, karena di antaranya ada pagar-pagar yang tinggi menjulang, menara pengintai yang kokoh dan ditambah dengan serdadu Bizantium di setiap penjuru kota. Maka wajar jika wilayah itu sangat sulit untuk bisa ditaklukkan.
Namun demikian, cita-cita untuk membebaskan Konstantinopel tidak pernah berhenti. Perjuangan berikutnya terus diwarisi oleh Daulah Abbasiyyah. Pada masa Khalifah Al-Mahdi, ia mengirim ekspedisi-ekspedisi musim panas ke wilayah wilayah Imperium Bizantium sejak 163 H / 779 M. Saat itu, Al-Mahdi mengirim sebuah ekspedisi musim panas yang langsung dipimpin puteranya Harun Ar-Rasyid yang ditujukan untuk mengepung Konstantinopel. Hingga pada 166 H / 782 M, Harun Ar-Rasyid kembali ke posisi musim panas yang memiliki sembilan puluh lima ribu personel. Ekspedisi ini tiba sampai di laut yang terlupakan Konstantinpel.
Setelah kota Baghdad jatuh pada tahun 656 masehi yang menjadi akhir Dinasti Abbasiyah, usaha kebebasan Konstantinopel tetap diteruskan oleh kerajaan kecil di Asia timur terutama kerajaan Saljuk yang dipimpin oleh Alip Arselan sampai ke Daulah Turki Utsmaniyah pada pemerintahan, Bayazid I (795- 803 H / 1393-1401 M) dan Sultan Murad II (1422 M). Tapi usaha tetap masih ada.
Upaya pembebasan terus berlanjut. Sampai saat setelah abad lebaran, Allah mengabulkan agama Islam itu melalui Sultan Muhammad Al-Fatih, pemimpin ketujuh dari Daulah Utsmaniyah. Sejarah menceritakan bahwa Muhammad Al-Fatih adalah seorang yang saleh. Saat baligh, Al-Fatih tidak pernah meninggalkan kewajibannya dan senantiasa memperbanyak amalan sunnah. Setelah diangkat menjadi raja, Al-Fatih langsung melanjutkan tradisi para pendahulunya untuk terjun langsung dalam penaklukan Konstantinopel.
Al-Fatih memperbanyak jumlah pasukannya hingga mencapai 250.000 personil. Angka ini merupakan jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah tentara pada saat itu. Memperkuat pelatihan pasukan dengan berbagai kesenian tempur dan ketangkasan bersenjata, membuat mereka memiliki kemampuan tempur tingkat tinggi, untuk mendukung operasi jihad yang ditunggu-tunngu. Tidak ketinggalan, beliau juga menanamkan nilai-nilai tauhid dan keislaman pasukannya yang benar-benar memiliki ruh jihad yang kuat.
Setelah hampir dua bulan melakukan pengepungan dan serangan, yaitu dari 26 Rabi'ul Awal hingga 19 Jumadil Ula 857 H (6 April - 28 Mei 1453 M), dan dengan mengerahkan berbagai strategi termasuk mengirim kapal-kapal melalui bukit, membuat terowongan-terowongan, dan membuat benteng dari kayu, akhirnya pada 20 Jumadil Ula 857 M (29 Mei 1453 M) Konstantinopel berhasil dibebaskan pasukan Islam. (Lihat: Ali Muhammad Ash-Shalabi, Ad-Daulah Al-'Utsmaniyyah: 'Awamilu An-Nuhudh wa Asbab As-Suquth , hlm. 87-107)
Penaklukan Roma, Kabar Gembira yang Belum Terwujudkan
Nubu'at Nabi tentang penaklukkan Konstantinopel telah terbukti dan berhasil diwujudkan oleh Muhammad Al-Fatih. Ia menjadi figur pemimpin yang terbaik dan pasukannya menjadi pasukan terbaik yang berhasil merealisasikan janji Nabi. Lalu kembali ke hadis shahih di atas, yaitu kompilasi Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam ditanya, “Kota yang lebih dulu, Konstantinopel atau Roma?” Kemudian Rasul menjawab, “Kotanya Heraklius melepaskan lebih dulu, yaitu Konstantinopel,” (HR. Ahmad)
Tidak hanya Konstantinopel, hadis di juga dari kabar Rasul gembira dari Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bahwa orang Islam akan berhasil menyelesaikan Roma. Berdasarkan hadits tersebut, secara kronologi, pembebasan Roma terjadi setelah pembebasan Konstantinopel. Salah satu kisah yang menyebutkan bahwa kabar gembira itu disebutkan Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam sampaikan tatkala Islam di masa-masa sulit saat menyiapkan parit untuk menghadang pasukan koalisi Bangsa Quraisy pada Perang Ahzab.
Dalam kitab Mu'jam al-Buldaan , karya Yakut al-Hamawi dijelaskan bahwa Maksud Rumiyahhearts hadis di differences Adalah ibu kota Italia hari Penyanyi, Yaitu Roma. ( Mu'jam al-Buldan , 3/100) Setelah pembebasan Konstantinopel yang tujuh abad yang lalu, hingga saat ini Islam belum berhasil mengeluarkan kota Roma. Penyebutan Roma setelah Konstantinopel kebebasan merupakan mukjizat terpisah karena hingga sekarang Roma merupakan simbol agama Nasrani dan juga peradaban Romawi (Barat).
Memang Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallamtidak secara tegas menyebutkan kapan pembebasan Roma terjadi dan siapa aktornya seperti pada pembebasan Konstantinopel. Akan tetapi yang pasti adalah pembebasan Roma tidak akan terjadi lagi setelah Muslim yang memiliki kekuatan yang sangat besar, yaitu kekuatan yang sama atau bahkan lebih dari kekuatan Islam. Kekuatan itu hanya mungkin dilakukan dalam bahasa Islam yang telah ditegakkan berdasarkan metode kenabian, termasuk komentar Syaikh Al-Albani yang mengomentari hadits di atas. Ia menulis;
“Penaklukan pertama (Konstantinopel) telah berhasil direalisasikan melalui tangan Muhammad Al-Fatih al-'Utsmani. Seperti yang telah diketahui, penaklukan itu terealisasi setelah lebih dari delapan ratus tahun karena kabar gembira yang disampaikan oleh Nabi saw. Dan pembebasan kedua (yaitu penaklukan kota Roma) dengan izin Allah juga akan terealisasi. Sungguh, beritanya akan Anda melindungi pada bulan berikutnya. Tidak diragukan juga bahwa pembebasan kedua itu menuntut kembalinya Khilafah Rasyidah ke tengah-tengah Muslim. ”(Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, jld. 1, hlm. 33, tidak ada hadits. 1329)
Bukan tugas yang dilakukan untuk memastikan kapan itu terjadi, sebab ini merupakan perkara gaib. Namun, jika dicermati lebih dalam, ada banyak karakter yang bisa masuk ke dalam, yaitu tidak lepas dari jihad fi sabilillah, pengerahan pasukan, dan peperangan besar di akhir zaman. Tugas muslim tidak menunggu. Tapi terus-menerus agar agar bisa bergabung dengan mereka saat Allah menakdirkannya selama itu. Dan salah satu persiapannya adalah mencintai jihad fi sabilillah dan mengondisikan agar siap untuk berjihad. Wallahu 'alam bis shawab!
Penulis: Fakhruddin
Editor: Arju
Oleh: M Muhar Omtatok
Revolusi Sosial Sumatera Timur disebut oleh sebagian sumber merupakan gerakan sosial di Sumatera Utara Bagian Timur, terhadap penguasa Kesultanan dan Kerajaan Melayu yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946. Masih menurut sebagian sumber, Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan anti feodalisme. Revolusi melibatkan mobilisasi orang terorganisir yang berujung pada pembunuhan Sultan, anggota keluarga kesultanan dan Kerajaan Melayu, golongan menengah pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi Republik Indonesia.
Beberapa saksi mata mengatakan,
“Ini bukanlah Revolusi Sosial, tetapi pembantaian besar-besaran”.
“Tak usahlah ditabalkan nama peristiwa ini menjadi Revolusi Sosial. Tak ada itu! Ini Pembunuhan masal di Sumatera Timur yang mesti diusut dan kebenaran sejarah mesti diluruskan”.
“Maret berdarah di Sumatera Timur adalah pembantaian masal”.
Apapun itu namanya, mereka yang telah membangun Pesisir Timur Sumatera Utara ini, telah dibunuh secara sadis, perempuan-perempuan diperkosa di hadapan ayahanda dan keluarganya, harta benda dirampas layaknya penggarap merampas hak ulayat.
Yang selamat dan hidup saat itu, harus lari bersembunyi entah kemana membawa nasib, dari satu kampung ke kampung lain, bahkan ada yang ketakutan hingga terdampar ke luar negeri.
Ini sebuah traumatik terwaris yang semestinya ada setawar sedingin bagi mereka dan turunannya di Sumatera Timur ini.
Coba lah kita amati photo photo lampau Sumatera Timur (kini berada di Provinsi Sumatera Utara), yang dahulu indah dengan istana-istana yang berornamen seni tinggi; di saat itu, dibakar habis. Istana Darul Aman Kesultanan Langkat diserbu dan dibakar, Istana Keraton Kota Galuh Kesultanan Negeri Serdang dijarah, Puri Kesultanan Deli dijarah hingga banyak bangsawan Deli diungsikan ke Malaya. Demikian juga di Asahan, Kualuh, Panai, Bilah, Kota Pinang, dan memporak porandakan Bedagai, Padang - Tebing Tinggi, dan beberapa wilayah batubara dan lainnya.
Alahai, semua negeri di Sumatera Timur sama rata mengalami peristiwa menyedihkan, Seluruh negeri negeri Melayu, Simalungun hingga Karo. Para pembantai seperti diseluk syetan, lesap hilang prikemanusiaan.
Sebetulnya perih hati mengisahkan peristiwa lampau nan masih berbekas hingga kini, entah bila terobati luka meruyak.
*
Di Tanjung Pasir, kini berada di Kabupaten Labuhanbatu Utara, ada sebuah Kesultanan Melayu bernama Kualuh. Malam itu, 3 Maret 1946, sebagian besar penghuni Istana Kualuh sedang terlelap, dan ada pula yang sedang sholat. Tiba-tiba terdengar suara pintu dipukul-pukul keras dari luar.
“Mana Tengku Besar? Mana Tengku Besar?” teriak orang-orang yang datang dengan senjata tajam. Tengku Besar adalah gelar bagi Tengku Mansoer Sjah, putra Sultan Kualuh. Rupanya, malam itu Tengku Mansoer Sjah tidak tidur di istana, tapi di rumah yang lain.
“Tuanku mana? Mana Tuanku?” Tuanku adalah panggilan bagi Tuanku Al Hadji Moehammad Sjah, Sultan Kualuh.
Dengan paksa, Tuanku yang sedang beribadah itu, mereka bawa ke kuburan Cina, Lalu Tengku Besar juga dijemput dan dibawa ke tempat yang sama.
Tengku Darman Sjah, adik Tengku Besar, malam itu sedang berada di kuburan istrinya yang baru saja meninggal dunia. Dia tak henti membacakan ayat-ayat Al-Quran. Malam itu, dia pun ikut dibawa. Di kuburan Cina itu mereka disiksa. Lalu ditinggalkan.
Pagi harinya, seorang nelayan yang lewat melihat tubuh mereka terkapar tapi masih bernyawa. Dengan bantuan masyarakat, dibawalah ketiga keluarga kesultanan tadi ke istana untuk kemudian dirawat.
Tapi, sekitar pukul 11 siang, datang lagi sekelompok orang yang ingin membawa sultan dan kedua putranya. Mereka orang yang berbeda dari yang datang di malam sebelumnya.
“Rakyat menginginkan Tuanku dan kedua putranya dibawa ke rumah sakit,” kata salah seorang dari mereka.
“Usahlah, biar kami saja yang urus,” ujar istri Sultan.
Tapi sekelompok orang yang datang itu memaksa tanpa ada adab bersopan. Dan kerabat istana tak dapat berbuat apa-apa. Mereka pun dibawa entah ke mana dan hingga kita tak pernah terkabar. Kerabat istana yang lain, termasuk perempuan ditawan selama lebih dari satu bulan. Mereka dibawa ke sana kemari, dari Rantau Prapat hingga Siantar, mereka disiksa bathin dan kejiwaan.
“Bila kalian hendak membunuh kami, tunggulah Obang (Azan) selesai dikumandangkan, dan izinkan kami sembahyang sekejap. Ini permintaan kami kepada kalian yang tak satupun kami kenal ini”, pinta Tuanku.
“Ah, tak penting sholat. Bunuh mereka !”, perintah pemimpin pembunuhan itu.
Tersayat hati mengenang peristiwa pembunuhan ini. Tak terhitung berapa banyak korban di Kualuh, Panai, Kota Pinang, atau juga Sultan Bilah – Tuanku Hasnan terbunuh beserta sekian banyak lainnya.
“Macam ditetak sebatang buluh,
Ditetak buluh kecai terbelah;
Macam tak bertuhan mereka membunuh,
Mangkatlah bangsawan tiada bersalah”
*
Di Kesultanan Langkat, peristiwa ini pun tak kurang menyedihkan. Tak sedikit perempuan diperkosa dihadapan orangtuanya, lelaki dibantai teramat sangat mengejamkan. Di Kesultanan kaya ini, kehilangan banyak petinggi yang bermutu dan pakar.
Adalah Tengku Amir Hamzah, seorang sastrawan, Pangeran Langkat hulu serta wakil Pemerintah Republik Indonesia, juga turut dibunuh.
Pada 7 Maret 1946 dengan kendaraan terbuka, Tengku Amir Hamzah dan lainnya dijeput paksa. Saat itu ia berbaju putih lengan panjang, ia sempatkan melambaikan tangannya pada orang-orang yang ingin menyalaminya di jalan. Bersama tahanan lain, Amir dikumpulkan di Jalan Imam Bonjol - Binjai, lalu dikirim ke perladangan Kuala Begumit untuk disiksa dan dibunuh.
Anehnya, beberapa orang pemuda ternyata sempat mendatangi Tengku Kamaliah, istri Amir Hamzah, untuk memintakan apa-apa yang kiranya perlu dikirimkan kepada Tengku Amir Hamzah di camp penyiksaan.
“Ini lah daku titipkan teruntuk suamiku, juadah satu siya(rantang)- masakan Melayu. Dan ini sehelai kain sembahyang, dan sepasang baju teluk belanga putih, kerana Ku Busu tak lepas dari menderas Al qur’an saban hari, bawakan lah ini Al qur’an untuk beliau”, ujar Tengku Kamaliah.
Di tempat yang lain di Kuala Begumit, nyatanya pakaian Tengku Amir Hamzah diambil, diganti dengan celana goni. Para tahanan diperintahkan menggali lubang; untuk kuburan mereka sendiri.
Satu demi satu para tahanan ditutup rapat matanya. Tangan diikat kuat ke belakang.
Sang algojo ternyata tak lain adalah Mandor Iyang Wijaya.
Sebelum melakukan pembunuhan, ia mengabulkan permintaan terakhir Tengku Amir Hamzah. Tengku Amir Hamzah meminta dua hal.
Pertama, ia meminta tutup matanya dibuka karena ingin menghadapi ajalnya dengan mata terbuka. Kedua, Tengku Amir Hamzah meminta waktu untuk sholat sebelum hukuman dijatuhkan.
Kedua permintaan Tengku Amir ini entah kenapa dikabulkan mereka.
Usai sholat, Sang Pujangga pun menerima ajalnya. Ia pergi menghadap Allah dalam usia 35 tahun dengan Kepala terputus dari badan.
“Aduhai dimana batang jerami,
Batang jerami usah dikerat;
Alahai dimana hati nurani,
Membunuh pejuang kekasih rakyat”
*
Pada tarikh 7- 8 Maret 1946, para Bangsawan Melayu Batubara diculik dan dikumpulkan di Labuhan Ruku.
Kemudian pada hari selasa 12 Maret, mereka dibawa ke penjara di Pematang Siantar.
Tak lama berselang, pada 26 Maret 1946 mereka dibawa lagi di Kampung Merdeka Berastagi, tanpa kepastian untuk apa bahkan diintimidasi.
Di tanggal 30 Juni, mereka dibawa lagi ke Raya Simalungun.
Selanjutnya pada 1 Juli 1946 dipindahkan ke Bah Birong.
Bangsawan Perempuan dibawa ke Tanjung Balai pada 23 Maret 1946 - Juli 1946. Mereka ditawan dan hanya diberi makan dari bahan makanan ternak.
Semua harta benda dirampas dan tanah mereka sudah dipancang.
Kaum bangsawan yang dipulangkan, terpaksa hidup di ladang dan hutan.
Penyiksaan dan pembunuhan tak terhitung jumlahnya. Ada yang matanya dicongkel, kemaluan disayat sayat. Bahkan ada yang dicincang dan dibuang ke laut.
Sebut saja beberapa korban, yaitu: Tengku Nur bin Tengku Busu Abdul Somad Indrapura, Tengku Anif Indrapura, Wan Bakhtin kemanakan Wan Sakroni Tanah Datar, Orang Kayo Syahbandar Indrapura, Orang Kayo Achmad cucu Datuk Limo Puluh, Orang Kayo Musa juru tulis Datuk Limo Puluh, Saudagar Sohor dari Sungai Balai Kedatukkan Suku Duo.
*
Ada lah pula Tengku Sortia bin T alhaji Jamta Melayu, cucu dari Tengku Tebing Pangeran, ia adalah Tengku Penasihat Negeri Padang di Tebing Tinggi. Saat itu ahad malam 3 maret 1946, beliau sedang berada di rumah perkebunan Tongkah milik kerajaan di wilayah Kampung Muslimin yang kini terletak antara Simalungun dan Serdang Bedagai. Bersama istrinya, Panakboru Nunum Purba gelar Puang Maimunah dan anak-anaknya, ia didatangi Barisan Harimau Liar.
“Raja mana… Raja mana!”, ucap rombongan. Tengku Sortia digelari Raja , karena beliau pemimpin tertinggi di perkebunan tembakau itu.
“Rajo sodang sembahyang Isya, Kojap yo”, ujar Puang Maimunah.
Sebelum berujung kalimat Puang Maimunah, rombongan terus memasuki rumah dan membawa Tengku Sortia yang sedang bersujud dalam sholatnya.
Puang Maimunah mengikuti dari kejauhan. Dan Tengku Sortia dibawa ke tepi sungai deras, tidak diketahui apa yang terjadi. Bisa saja dibunuh sadis dan dihanyutkan ke sungai. Yang pasti rumah panggung milik beliau dijarah dan dibakar.
Hingga akhir hayatnya Puang Maimunah seperti hilang kesadaran, acapkali ia menyusuri sungai, acapkali pula ia menangis mengharapkan suaminya kembali.
“Begitu pisau hendak diasah,
Usah nafsu diperturutkan;
Begitu perih mengenang kisah,
Sebuah sejarah yang menyedihkan”
*
3 Maret 1946, azan subuh belum lagi berkumandang di Tanjung Balai, Kesultanan Asahan.
Ketika itu, Tengku Muhammad Yasir - cucu Sultan Asahan yang ke X - Tuanku Muhammad Husinsyah, menyambut kedatangan ayahandanya yang baru tiba dari istana. Ayahnya baru pulang berjaga-jaga karena terdengar kabar akan ada penyerangan.
Rumah keluarga Tengku Yasir tak jauh dari Istana Asahan. Kedua lokasi tersebut sama-sama berada dalam lingkaran Kota Raja Indra Sakti, yang di tengahnya terhampar lapangan hijau.
Ketika itu, Tengku Yasir, yang berusia 15 tahun, membukakan pintu untuk ayahandanya. Dia lalu menatap ke arah lapangan hijau di depan rumahnya. Ada sekelompok orang merayap ke arah istana. Yasir melihat pakaian mereka biasa saja. Tapi, mereka membawa senjata api juga senjata tajam.
“Ontu(ayahanda) , tengoklah itu, Ntu!” ujar Yasir pada sang ayah sambil menunjuk ke arah lapangan. Melihat apa yang terjadi, mereka kemudian masuk ke rumah.
Pukul enam pagi itu, istana diserang sekelompok orang. Tuanku Sjaiboen Abdoel Djalil Rachmatsjah, Sultan Asahan waktu itu, dapat melarikan diri dari belakang istana. Dia berlari disesuatu tempat yang tersembunyi.
Satu jam kemudian, sejumlah orang datang ke rumah Tengku Yasir. Dia dan ayahnya dibawa. Tapi Tengku Yasir kesulitan berjalan karena tapak kakinya sedang sakit dan diperban. Melihat kaki Yasir yang sakit dan mengeluarkan bau tak sedap, dia tak jadi dibawa. Tengku Yasir pun lari ditengah sakitnya, menyelamatkan diri ke rumah Tengku Haniah, kakak sepupunya.
Rupanya, di rumah itu pun tak ada lagi lelaki. Semua sudah diculik sekelompok orang yang melakukan penyerangan. Dan tak lama datang lagi sekelompok orang untuk membawa mereka.
Sebuah dokumen Belanda memperkirakan bahwa revolusi sosial 1946 ini menelan korban pembunuhan sebanyak 1200 orang di Asahan, belum lagi di negeri-negeri lain di Sumatera Timur. Dari Sungai Londir saat dievakuasi dikemudian hari, menemukan banyak kerangka korban yang terkubur tak teratur, bahkan ada di dinding-dinding tanah.
*
Sebetulnya masih banyak yang hendak saya kisahkan dari peristiwa nyata yang mengharukan ini. Namun tak kuat saya melanjutkan untuk menuliskan kisah-kisah kebenaran sejarah ini. Terlalu sedih hati menuliskan kekejaman masa lalu yang berbekas hingga kini di hati puak Melayu di Sumatera Utara.
Aduhai Datuk Keramat Tasik Sijenggi,
Sedih pilu Bentan Telani;
Duhai Allah, begitu perih hati kami,
Mengenang kisah kekejam ini
Sumber : puakmeyalu.blogspot.com
BENARKAH KISAH PERNIKAHAN FATIMAH;
Fatimah yang merupakan putri dari Rasulullah sangat taat kepada Rasulullah. Fatimah juga dikenal sebagai sosok anak yang sangat berbakti kepada orang tua. Ali Bin Abi Thalib terketuk pertama kali saat Fatimah dengan sigap membasuh dan mengobati luka ayahnya, Muhammad SAW yang luka parah karena berperang.
Sejak saat itu, Ali bertekad untuk melamar putri dari Rasulullah yaitu Fatimah. Ali juga dikenal sebagai sosok yang pemberani dan orang yang sangat dekat dengan Rasulullah. Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, Ali merupakan orang kedua yang percaya akan wahyu itu setelah Khadijah, istri Rasulullah. Namun, Ali merupakan sosok pemuda yang miskin. Hidupnya dihabiskan untuk berdakwah di jalan Allah. Untuk itu, dia bertekad untuk menabung dengan tekun untuk membeli mahar dan melamar Fatimah.
Belum genap uang Ali untuk membeli mahar, tiba-tiba Ali mendengar bahwa sahabat nabi yaitu Abu Bakar telah melamar Fatimah. Ali pun merasakan kesedihan di hatinya. Namun, Ali pun sadar bahwa saingannya ini mempunya kualitas iman dan islam yang lebih tinggi darinya.
Kesedihan Ali pun berhenti sejenak karena Fatimah menolak lamaran Abu Bakar.
Tetapi keceriaan Ali mulai redup kemballi mendengar bahwa Umar Bin Khatab melamar Fatimah. Lagi-lagi, Ali hanya bisa pasrah karena bersaing dengan Umar Bin Khatab yang gagah perkasa. Tetapi, takdir kembali berpihak kepada Ali. Umar Bin Khatab ditolak lamarannya oleh Fatimah.
Namun saat itu Ali belum berani mengambil sikap, dia sadar bahwa dia hanya pemuda miskin. Bahkan harta yang dia miliki hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kami tidak pernah menjumpai riwayat yang menyebutkan kisah pernikahan sedetail dan serinci itu. Riwayat yang kami jumpai sebagai berikut,
[1] Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
خَطَبَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رضى الله عنهما فَاطِمَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّهَا صَغِيرَةٌ ». فَخَطَبَهَا عَلِىٌّ فَزَوَّجَهَا مِنْهُ
Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah melamar Fatimah. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Dia masih kecil.’ Kemudian Fatimah dilamar Ali, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahnya dengan Fatimah. (HR. Nasai 3234, Ibn Hibban 6948 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
[2] Riwayat dialog antara Ali dengan mantan budaknya sebelum menikahi Fatimah
Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Sirah Nabawiyah dan al-Baihaqi dalam ad-Dalail, dari Ali radhiyallahu ‘anhu,
Aku ingin melamar Fatimah. Lalu mantan budakku menyampaikan kepadaku,
“Tahukah kamu bahwa Fatimah telah dilamar?”
“Tidak tahu.” Jawabku.
“Dia telah dilamar. Mengapa kamu tidak segera datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dinikahkan dengannya?” Jelas mantan budakku.
“Saya punya apa untuk menikah dengannya?” jawabku.
“Kalau kamu datang ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau akan menikahkanmu.” Kata mantan budakku.
Dia terus memotivasi aku sampai aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika aku duduk di depan beliau, aku hanya bisa terdiam. Demi Allah, aku tidak bisa bicara apapun, melihat wibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ما جاء بك، ألك حاجة؟
“Kamu datang, ada apa? Ada kebutuhan apa?”
Aku hanya bisa diam.
Beliau tanya ulang,
لعلك جئت تخطب فاطمة؟
“Kamu datang untuk melamar Fatimah?”
“Ya.” Jawabku.
Tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وهل عندك من شيء تستحلها به؟
“Kamu punya sesuatu yang bisa dijadikan untuk maharnya?”
“Gak ada, Ya Rasulullah…” jawabku.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
ما فعلت درع سلحتكها؟
Bagaimana dengan tameng yang pernah aku berikan kepadamu?
“Demi Allah, itu hanya Huthamiyah, nilainya tidak mencapai 4 dirham.” Jawabku.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenikahkan Ali dengan Fatimah dengan mahar tameng Huthamiyah.
Dalam riwayat Ahmad dan Nasai, dinyatakan,
Aku menikahi Fatimah radhiyallahu ‘anha. Aku berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ya Rasulullah, izinkan aku untuk menemui Fatimah”
“Berikan mahar kepadanya!” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Aku tidak punya apapun.” Jawabku.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
فأين دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّة؟
“Mana tameng Huthamiyah milikmu?”
“Ada di tempatku.” Jawabku.
“Berikan kepadanya!” perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ahmad 603, Nasai 3388 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Sumber : kisahmuslim.com
Foto : Ilustrasi |
Jika sejarah pada masa Islam akan dipelajari secara teliti dan dalam, wajib untuk mengetahui sistem negara yang dianut pada zaman tersebut. Sistemlah yang memberikan kepada suatu zaman bobot nilainya, karena dialah yang menghadapinya dan terjadi didalamnya aliran-aliran yang bermacam-macam. Bahkan sistem ini jikalau kita mengambilnya pada akhir masa Umar bin Al-Khatab, dapatlah kita memahami sebuah negara Islam secara paripurna khususnya pada perkara-perkara yang besar.
Maka sistem yang ada pada masa Umar adalah sistem yang terkonsentrasi pada urusan khilafah, yaitu memberi tafsiran kepada kita tentang peristiwa-peristiwa pada masa Islam, bahkan pada masa dinasti Umawiyah.
Hanya saja sistem ini tidak diletakkan sekaligus melainkan secara berangsur, satu bagian datang pada suatu waktu kemudian diikuti bagian lain setelahnya. Dan peristiwa-peristiwa itulah yang memberi gagasan sistem tersebut, karena ialah yang merekamnya. Kejadian-kejadian itu berjalan dengan "cepat meskipun saat itu belum ada dipuncak kepala negara Islam dua orang laki-laki yang mengecilkan lafal keagungan dihadapan urusan keduanya, serta membahayakan arus kejadian yang ditaruh sistem itu, maka didapatlah didalamnya penyakit dimana menimbulkan keributan dan ketidakstabilan. Namun Abu bakar dan Umar mampu bersikap sebaik-baiknya dengan kecerdasan yang langka ditemukan dalam sejarah, dan dengan baik jejak keduanya diikuti Utsman pada enam tahun pertama dari masa kekhilafahannya, sampai zaman terjadinya tragedi fitnah. Dan meskipun kejadian itu berlari dengan cepat namun pikiran tiga khalifah tersebut juga berlalu secepat kejadian itu, bahkan terkadang peristiwa yang terjadi mendahului benak pikiran mereka, namun mereka selamanya jernih pikiran, teroganisir, jauh jangkauan, dan dalam pandangannya.
Jika terhitung bahwa Umar bin Al-Khatab sebagai khalifah yang paling lama memerintah maka dialah yang banyak meletakkan bagian terbesar dari sistem tersebut, juga memeliharanya dari arah yang salah. Seandainya masa khilafahnya bertahan lebih lama dari yang sebenarnya maka sistem pemerintahan ini akan lebih mendalam, lebih bermaslahat, dan lebih luas.
Foto diambil dari google |
Disebutkan bahwa sistem pemerintahan di masa Khulafa Rasyidin bisa dikatakan menganut sistem sosialis (isytirakiyah), seperti akan nampak jelas pada uraian pembahasan sistem keuangan negara tersebut.
Sumber kekayaan utama sistem ini dari sisi keuangan adalah sumber pemasukannya, dimana negara memusatkan perhatiannya dan menjadikan sebuah masyarakat yang cenderung kepada sistem sosialis, yang memiliki ciri utama sebagian besar tanah adalah milik negara. Tapi sebagian tanah tetap milik perorangan apabila pemilikannya sebelum terjadinya futuhat.
Sistem keuangan ini juga bercirikan bahwa semua orang semestinya hidup dalam tingkat kehidupan yang standar dan wajar, tidak hidup mewah dan tidak turun dibawah garis kemiskinan. Negara hendaknya memperhatikan nasib kaum fakir miskin dan memberi haknya. Inilah sistem Islam yang diletakkan atas dasar Al-Quran dan sunnah. Setidaknya sistem ini mendapat uraian terinci pada masa khalifah Umar bin Al-Khathab yang memanfaatkan pengelolaan wilayah-wilayah yang dibuka (futuhaat) dan sistem didalamnya. Sampai sistem ini mapan dan matang dengan perkembangan pemikiran Islam dan kebutuhan daerah-daerah yang dibebaskan tersebut.
Negara-negara yang tadinya dibawah kekuasaan Romawi dan Parsi masa dahulu wajib membayar pajak dalam jumlah yang Besar, walau seluruh rakyatnya tidak membayar pajak. Ada lapisan tertentu di masyarakat yang tidak menunaikan apapun ke lumbung negara, tapi ada lapisan lain yang memberikan pajak hartanya kepada orang lain yang menyandarkan hidup darinya, mereka adalah pemuka agama. Dan pajak-pajak tersebut banyak jenisnya pada tanah-tanah tersebut yang amat dirasakan oleh rakyat, dimana mereka wajib menyerahkan kepada penguasa apa-apa yang menjadi penghidupannya berupa bulir-bulir bijian yang banyak. Sedang mereka bekerja dan menyerahkan hasil pekerjaannya seluruhnya seakan-akan hal itu sesuap makanan bagi mereka.
Kemudian datanglah masa pembebasan (futuhat), maka kaum muslimin menguasai mayoritas tanah-tanah tersebut yang tadinya dibawah kekuasaan Parsi dan Romawi. Tadinya dalam ketentuan hukum pembebasan (fath) dan peperangan bahwa tanah-tanah dan apa-apa yang ada di dalamnya adalah milik para tentara pembebas (al- faatihun), namun beberapa shahabat yang ikut serta dalam pembebasan tersebut, terutama dari para pembesar-pembesarnya seperti Saad bin Abi Waqash, Abu ‘Ubaidahidah, dan Amru bin Ash memohon tanah-tanah tersebut dibagi-bagi diantara mereka sebagaimana Rasulullah SAW melakukannya di tanah Khaibar. Maka mereka minta izin dan restu dari para penguasa wilayah dibawah Khalifah Umar bin Al-Khattab tentang perkara ini. Maka Umar mempertimbangkan pendapatnya dalam persoalan ini sebagai berikut: “jika tanah-tanah itu dibagi sesama tentara pembebas (fatihin), maka apa Yang tersisa untuk yang datang sesudahnya? Dan apa yang tersisa dari harta benda untuk membiayai futuhat selanjutnya? Dan apa nasib para pembebas (fatihin) sedang mereka harus memperhatikan lanah-tanah mereka, menanaminya dan mengelolanya, sehingga mereka akan terbuai lupa akan futuhat mendatang?”
Realitanya, bahwa masalah ini amatlah sangat penting, dan Umar bin Al-Khathab sebelumnya telah mempertimbangkannya dari sisi kemaslahatan agama dan kemaslahatan umat, walau persoalan sebenarnya bahwa para pembebas (fatihin) itu berhak untuk membagi tanah-tanah tersebut, tapi apakah hal itu sejalan dengan Fuh Islam?
Sehingga masalah ini menyita waktu cukup besar bagi Umar untuk memikirkannya secara luas. Dan sungguh baginya untuk memenangkan ruh Islam tanpa melanggar teks Al-Quran dan Sunnah. Maka segera ia kembali kepada Al-Quran dan didapatkannya dua ayat, salah satunya menetapkan pembagian tanah pembebasan yang biasanya menyambung dengan suatu daerah dan tanah khusus. Sedang ayat lain mengisyaratkan kepada satu macam yang terbilang dan mencakup umat seluruhnya. Dan telah disebutkan pada satu konteks tertentu bahwa tanah tersebut tidak menyambung dengan perkampungan tertentu melainkan dengan seluruh perkampungan, jadi yang terjadi disini adalah disamaratakan tanpa ada pembatasan. Allah Swt berfirman:
“Apa saja harta rampasan (fa'i) yang diberikan Allah kepada RasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. Juga bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampong halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman: Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.
Ayat ini berkaitan dengan fai' dari penduduk desa secara umum, bukan dari desa tertentu seperti termaktub di dalam Al-Quran untuk kondisi tertentu. Dan ayat mencakup semua lapisan kaum baik fakir, miskin, orang dalam perjalanan (musafir), muhajirin dan anshar kemudian mereka yang datang setelahnya yaitu mencakup umat Islam. Pada ayat ini Umar bin Al-Khathab merenung dan berkomentar: Hendaknya seluruh tanah-tanah tersebut tetap diperuntukan umat dan dari mereka semua tanah¬tanah tersebut ditahan.
Namun ada beberapa sahabat yang tidak sependapat, mereka tetap berpegang pada ayat yang mengizinkan pembagian tanah seperti peristiwa Khaibar, di antaranya Abdurrahman bin 'Auf, Zubair, dan Bilal bin Rabaah. Adapun Bilal yang paling keras didalam hal ini, dimana menentang penahanan tanah-tanah pembebasan dari tangan kaum muslimin.
Dan Umar belum mampu melobi para sahabat walaupun berada disamping pendapatnya beberapa sahabat lainnya seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman, Mu'adz, Abdullah bin Umar dan Thalhah.
Sampai akhirnya Umar terpaksa mengambil ketetapan hukum kepada kaum Anshar, maka mereka memilih lima orang dari suku Aus dan lima lagi dari suku Khazraj dan sang khalifah memaparkan kepada mereka letak perbedaan pendapat serta disebutkan juga bahaya yang mungkin terjadi dari pembagian tanah-tanah hasil pembebasan kepada tentara pembebas (fatihin), sehingga mereka menimbang-nimbangnya kemudian berkata: "Pendapat terbaik adalah apa yang kau lihat wahai Amirul Mukminin" Dari sinilah terjadi kestabilan opini dari apa yang telah ditemukan Umar bin Al-Khathab dalam kejeniusan akalnya dan pemahamannya terhadap ruh syariah.
Dan Umar menulis surat kepada wilayah-wilayah (amshor) apa yang telah tetap dari pendapat tentang masalah ini, dan beliau katakan: “Para tentara pembebas (fatihun) akan mengambil bagiannya dari harta rampasan perang (ghanaim), adapun tanah yang dibebaskan tetap milik kaum muslimin seluruhnya, yang mana diambil hasil dan produknya dan dibagi kepada umat.”
Dan kesulitan kedua yang dihadapi Umar datang dari pembagian devisa (pemasukan) negara. Apa saja dasar yang wajib dikonsentrasikan dalam pembagian devisa tersebut.? Apakah harta dibagikan kepada semua orang dengan merata? Dan pendapat Umar condong kepada pembagian berdasarkan kedudukan dan kelas masing-masing dari mereka. Kata Umar: “Sungguh saya tidak berpendapat bahwa orang yang berhijrah bersama Rasulullah Saw sama haknya dalam harta fayik dengan orang yang pernah memerangi Islam dan memeluknya kemudian”. Bertentangan dengan pendapatnya dalam hal ini Ali bin Abi Thalib. Tapi pendapat khalifah lebih unggul diatas pendapat para penentangnya, sehingga ditetapkanlah system pembagian sesuai kedudukan, Dan diletakkanlah urutan dalam masalah ini yaitu terdiri dari dua sisi: pertama didasarkan kepada hajat orang terhadap harta yang akan dinafkahkan, kedua keterdahuluannya didalam memeluk Islam dan memenangkannya. Dimulailah oleh Umar pertama kali dengan mengedepankan orang-orang yang sangat membutuhkan seperti Qaari' (pembaca) Al-Quran dan fakir yang amat menghajatkan, keduanya mengambil bagiannya yang mencukupinya. Baru kemudian dibagikan kepada golongan yang terdahulu dalam memeluk Islam dan kedekatannya kepada Rasulullah Saw.
Setelah ditaruhnya dasar-dasar ini, timbullah kemudian kendala baru yaitu: Bagaimana mencacah semua orang dan umat seluruhnya dapat terlibat dalam pemanfaatan harta tersebut, sedang hal tersebut sangat besar dan luas, nah bagaimana mendata dan mencacahnya?
Disini, para ahli arif dan bijak memberi petunjuk kepada khalifah untuk meletakkan sebuah kantor untuk orang banyak atau kantor pencatat (sipil) yang mencatat nama-nama orang didalamnya. Perlu disebutkan pada munasabah ini bahwa syair adalah perekam bagi bangsa Arab artinya bahwa syair merupakan pencatat bangsa Arab. Para ahli arif tadi telah mendapatkan hal serupa dari perangkat pencatat tersebut di negeri Kisraa. Maka oleh Umar didirikanlah sebuah diwan (Kantor pencatat) yang disebut diwanul Athaa', dimana direkam didalamnya segala nama-nama yang akan memanfaatkan dari harta-harta tersebut.
Sekarang marilah kita bayangkan bagaimana seorang khalifah dan para pembantunya mampu membatasi nama-nama orang tersebut dalam daftar catatan tadi. Sebelumnya haruslah mereka mengklasifikasikan nama-nama tersebut dalam golongan tertentu dimana mereka termasuk didalamnya agar mereka dapat dicacah didalamnya tanpa terlewatkan satupun. Dan pada masa itu orang-orang dinisbatkan kepada golongan atau sukunya, sehingga tidak mungkin semua orang dicacah kecuali dengan dasar kesukuan tadi. Memang memungkinkan bagi para pemerang agama Islam untuk dibagi berdasarkan kelompok yang diikutinya, tapi kelompok itu sendiri didasarkan pembagian kesukuan. Jadi tidak ada langkah lain disini untuk mencacahnya.
Dan dengan demikian berjalanlah pencatatan nama-nama kaum muslimin yang berhak (mustahik), semuanya sesuai dalam kabilah dan sukunya. Dan dapat dilihatnya bahwa pembatasan disini harus mendapat kepastian dari semua orang didalam kabilahnya, yaitu dalil kepastian yang sebenarnya tidak disengaja.
Kondisi masyarakat menetapkan keberadaan seseorang dalam kabilahnya, kemudian datanglah Islam menghapuskan kefanatikan tersebut dan mengikat persaudaraan antara semua orang. Sampai datangnya sistem keuangan ini mengembalikan dan memperkokoh tatanan kesukuan, dimana tidak ada jalan lain selain dari itu untuk melakukan pencacahan, dan terjadilah apa yang telah terjadi seperti yang akan kita saksikan.
Menghadang didepan Umar problem lain yaitu bagaimana mencacah orang-orang muslimin selain bangsa Arab. Umar mengikuti cara yang dikenal pada masa jahiliyah yaitu setiap kabilah-kabilah biasanya ada orang-orang yang berpihak dan loyal kepadanya dan mereka adalah bagian dari kabilah tersebut. Maka jika seseorang masuk Islam dan bergabung kepada salah satu suku Arab, maka bagi dirinya adalah bagi sukunya dan atas dirinya juga atas sukunya, serta namanya tercantum bersama nama-nama anggota kabilah tersebut. Dan begitulah apa yang dilakukan Umar, namun ia tidak menjadikan aturan ini sebagai kewajiban, bahkan katanya: “Jika ada kaum asing ingin menjadi suku tersendiri maka lakukanlah, maka bagiannya sebagaimana dirinya menjadi pendukung salah satu kabilah Arab". Namun hendaknya dibayangkan disini posisi orang yang masuk Islam tersebut, bukankah merupakan kemaslahatannya atau kebanggaannya apabila ia bernasab kepada satu kabilah Arab dan hak kewajibannya menjadi hak kewajiban kabilahnya.
Tidaklah syak bahwa orang-orang asing non-Arab akan mengutamakan saat pembagian suatu harta pemberian untuk bernisbat kepada kabilah-kabilah Arab daripada membentuk kumpulan khusus diantara mereka. Marilah kita bayangkan bahwa dahulu kala bangsa-bangsa yang berkuasa menganggap bangsa-bangsa yang diperintah sebagai bangsa yang lebih rendah dari mereka sehingga tidaklah bisa dinisbatkan ke bangsa mereka. Sedang Umar bin Al-Khathab telah membuka bagi orang asing (a’zam) peluang ini sehingga mereka mendapatkannya sebagai suatu keistimewaan yang besar sebagaimana mereka pernah menyandangnya.
Begitulah dapat dipahami bagaimana orang-orang asing telah menisbatkan diri kepada suatu kabilah Arab tanpa merasa riskan bahkan sebagai suatu keistimewaan.Hasil dari ini semua bahwa sistem keuangan telah menjadi sistem Arab, dimana pembagiannya telah didasarkan atas asas kabila-kabilah Arab, sehingga akan berdampak dalam sejarah Islam pada umumnya dan sejarah dinasti Umawiyyah pada khususnya.
Selanjutnya pembicaraan beralih kepada tanah kharraaj. Tanah yang telah menjadi milik Allah atau milik umat ini sengaja dibiarkan ditangan para petani pemilik aslinya, agar mereka mengelolanya dan dapat bekerja melaluinya sehingga dapat membayar kharajnya. Namun disamping pajak kharraj ada pajak lain yang pertama adalah jizyah. Disini tidak akan memperpanjang pembicaraan karena pada awalnya jizyah telah bercampur aduk dengan unsur kharraj, sehingga kadang jizyah telah dipakai untuk pembayaran kharraj dan kharraj digunakan dalam pengertian jizyah, sampai kedua istilah ini menemukan jalannya secara stabil untuk selamanya.
Jadi jizyah itu apa-apa yang diambil dari penduduk yang belum memeluk Islam dan menggunakan tanah kharraj untuk membayar apa-apa yang dihasilkan dari tanah tersebut. Dan Jizyah adalah pungutan untuk melindungi non-muslim dan menjamin keamanan mereka, namun mereka tidak dilibatkan dalam peperangan, dan jizyah diserahkan ke baitul-maal dan dibagikan kepada orang-orang yang terdaftar dalam kantor pencatat (diwanul-atha') . Diserahkan ke baitul-maal juga seperlima dari rikaz yaitu apa-apa yang dihasilkan dari dalam perut bumi berupa logam dan harta temuan berharga. Begitu pula kaum muslimin memberikan sepersepuluh dari hasil tanah pertaniannya, apabila mereka memiliki tanah dan mewarisinya. Dan diambil dari para pedagang sepersepuluh hasil keuntungannya dan itu semua dihimpun ke dalam baitul-maal.
Sedangkan sedakah dan zakat dimasukkan ke baitul-maal namun tidak dibagikan kepada golongan atha' tapi dibagikan untuk para kaum fakir miskin karena hak mereka sangatlah jelas, yaitu sesuatu yang diambil setiap tahunnya dari harta kalangan berada (kaya). Yang mana harta umat itu setiap empatpuluh tahun masuk ketangan kaum fakir untuk dibelanjakan dan dimanfaatkan darinya.
Jadi, telah berkumpul di dalam baitul-maal setumpuk harta amat besar yang diambil dari berbagai pihak yang telah disebutkan satu persatu tadi. Dan harta itu selalu dibagikan sehingga tidak tersisa pada baitul-maal kecuali sedikit saja yang wajib untuk kebutuhan masa mendatang. Dan Umar memerintahkan para ‘amilinnya untuk membagikan harta-harta tersebut pada waktunya agar tidak menyengsarakan orang-orang akibat keterlambatan pembagian tersebut.
Umar telah melakukan suatu pekerjaan luar biasa dalam mendata dan mencacah dalam kantor pencatat sipil (diwanul ‘atha'), juga dalam sejumlah tanah-tanah kharraj. Telah bergabung dalam melakukan hal ini Utsman bin Hanif dan Hudzaifah bin Yaman pada sejumlah tanah hitam di negeri Irak, dimana diketahui berapa luasnya dan kemudian dicacah. Dan ini suatu pekerjaan yang amat membanggakan tercatat bagi kedua sahabat ini.
Singkat kata, bahwa sistem keuangan pada masa Khulafaur Rasyidin adalah sistem yang terdiri dari beberapa unsur-unsur sistem sosialis, karena rakyat secara serentak ikut serta dalam memberikan pemasukan kepada negara untuk kembli dibagikan kepada mereka. Dan juga suatu sistem yang beberapa sisinya mengandung unsur kesukuan, karena pembagiannya berdasarkan asas kabilah.
Apa yang dapat disimpulkan dari pemaparan yang lalu tentang pembentukan negara pada masa Khulafa Rasyidin?
Dari pendahuluan yang telah kita kedepankan dapatlah ditemukan penafsirannya sekarang, dimana negara (seperti telah disebutkan) adalah negara musyawarah (syura) mengambil dari rakyat segala keputusan hukum dan sumber kehidupannya, yaitu negara yang segala sesuatunya berpusat pada hukum agama. Yaitu negara yang condong pada sistem sosialis dalam menata sistem keuangannya, dan negara bangsa Arab dalam sistem pendistribusian harta dan militernya. Disamping itu semua sebuah negara yang diperintah oleh perorangan yang ditangannya segala kekuasaan, walaupun sebenarnya bersandarkan pada syura atau pembai'atan, namun sang penguasa bisa mengambil apa saja dari keputusan-keputusan, dan bagi umat untuk memperhitungkannya jika ada kesalahan di dalamnya.
Singkat kata bahwa sistem ini adalah sistem keagamaan yang bersandar pada sistem syuura. Kekuasaan diserahkan kepada seseorang yang dipilih oleh Ahlu hilli wal-aqdi (para cerdik dan bijak) dari kalangan bangsa Arab untuk kemudian diakui oleh mayoritas rakyat, dan ia yang terpilih bertanggung jawab kepada mereka. Sedang tanah wilayah negara sepenuhnya milih seluruh umat. Juga semua harta harus masuk ke tangan para fakir setiap empat puluh tahun sekali untuk dibelanjakan demi hajat diri mereka. Dan tujuan kekuasaan untuk yang pertama dan terakhir adalah kemaslahtan umat di dunia dan akherat.
Ini adalah pendahuluan singkat yang bisa mempermudah memasuki peristiwa-peristiwa sejarah, juga memudahkan pemahaman peristiwa fitnah yang terjadi pada masa Utsman. Maka dari sini bahwa kabilah-kabilah Kahlani dan Qahthaani terdiri dari bangsa badawi (berpindah-pindah) dan bangsa yang menetap. Disini nampaknya perlu diperhatikan saat pembahasan pembagian ini antara badawi (pindah-pindah) dan hadhr (tetap).
bacodulu.site - Bisyarah atau kabar gembira dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam merupakan semangat utama kaum muslimin untuk terus berjuang. Baik melalui Al-Quran atau melalui lisan nabi, kabar gembira itu menjadi kekuatan yang tak mampu diisi oleh siapa pun. Keyakinan terhadap janji-janji yang disampaikan itu menjadi pelecut bagi kaum muslimin untuk merealisasikannya. Sebab, seluruh janji nabi itu pasti akan terjadi. Nabi tidak pernah berbicara kecuali itu sesuai dengan arahan wahyu ilahi.
Sejarah telah mencatat sekian banyak semangat mundurnya Islam berawal dari semangat merealisasikan janji Nabi. Sebut saja pembebasan Syam, Persia dan Yaman oleh para sahabat. Semua itu termotivasi oleh kabar gembira yang menyampaikan Nabi saw perang Ahzab. Demikian juga dengan Kota Mesir, kabar tentang pembebasannya dan pernah menyampaikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam digantung para sahabat.
Sebuah riwayat menyebutkan sesaat setelah wilayah ditaklukkan oleh Amr bin Ash, Ia berkata kepada penduduk kota tersebut, "Wahai penduduk Mesir, nyata Nabi kami telah mengabarkan bahwa Allah akan memberikan Mesir untuk orang Islam dan beliau mewasiatkan agar kami bertindak baik kepada kalian. Beliau bersabda, 'Jika kalian menaklukkan Mesir, maka aku wasiatkan agar kalian berbuat baik kepada orang-orang Qibthi ini. Mereka memberikan kebebasan dan kasih sayang '. ” (HR. Muslim)
Pembebasan Konstantinopel
Kisah-kisah yang terakhir dari kisah yang cukup fenomenal adalah kabar pembebasan Konstantinopel. Dalam sabdanya, Nabi sallallahu 'alaihi wasallam Menyampaikan kabar gembira kepada para sahabatnya , “Kota Konstantinopel akan dilemparkan ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baiknya pasukan. ” (HR. Ahmad)
Lalu dalam riwayat lain, salah seorang sahabat Nabi, Abu Qubail bercerita, “Ketika kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya, 'Kota yang akan disambungkan terlebih dahulu; Konstantinopel atau Roma? ' Abdullah meminta kotak dengan lingkaran-lingkaran miliknya. Kemudian dia mengeluarkan kitab. Lalu ia berkata, 'Ketika kita sedang menulis di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau menjawab:
أي المدينتين تفتح أولا: أقسطنطينية أو رومية؟ فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: مدينة هرقل تفتح أولا. يعني: قسطنطينية
Dua kota ini yang lebih dulu: Konstantinopel atau Roma? ' Rasul menjawab, 'Kota Heraklius diputar lebih dahulu.' Yaitu: Konstantinopel '. ” (HR. Ahmad, ad-Darimi dan al-Hakim)
Hadits ini dinyatakan shahih oleh al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Sementara Abdul Ghani al-Maqdisi berkata, “Hadits ini hasan sanadnya.” Syaikh Al-Albani sependapat dengan al-Hakim dan adz-Dzahabi yang hadits ini shahih. (Lihat Silsilah Ahadits al-Shahihah 1/3)
Layaknya sebuah sayembara, janji yang diperas untuk memotivasi setiap kaum kaum muslimin untuk merealisasikannya. Sejarah mencatat bahwa upaya serius penaklukan Konstantinopel telah terjadi saat masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan (668-669 M). Namun karena kuatnya pertahanan musuh, pasukan Islam yang dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah, belum mampu menaklukkan kota tersebut. Saat pengepungan ini, salah seorang Sahabat Nabi, Abu Ayyub Al Anshari wafat lalu Beliau dimakamkan di dekat dinding Konstantinopel sesuai wasiatnya.
Kota Konstantinopel memang terkenal dengan kota yang paling aman pada masanya. Kota ini dilindungi oleh benteng-benteng yang kokoh. Ia juga memiliki benteng alam berupa tiga lautan yang mengelilinginya, yaitu selat Basphorus, laut Marmara dan Tanduk Emas yang dijaga dengan rantai besar sangat penting untuk kapal musuh untuk masuk ke dalamnya. Sementara itu daratannya dijaga dengan benteng yang kokoh yang terbentang dari laut Marmara sampai ke Tanduk Emas. Dari segi kekuasaan militer, kota ini adalah kota yang paling aman dan terlindungi, karena di antaranya ada pagar-pagar yang tinggi menjulang, menara pengintai yang kokoh dan ditambah dengan serdadu Bizantium di setiap penjuru kota. Maka wajar jika wilayah itu sangat sulit untuk bisa ditaklukkan.
Namun demikian, cita-cita untuk membebaskan Konstantinopel tidak pernah berhenti. Perjuangan berikutnya terus diwarisi oleh Daulah Abbasiyyah. Pada masa Khalifah Al-Mahdi, ia mengirim ekspedisi-ekspedisi musim panas ke wilayah wilayah Imperium Bizantium sejak 163 H / 779 M. Saat itu, Al-Mahdi mengirim sebuah ekspedisi musim panas yang langsung dipimpin puteranya Harun Ar-Rasyid yang ditujukan untuk mengepung Konstantinopel. Hingga pada 166 H / 782 M, Harun Ar-Rasyid kembali ke posisi musim panas yang memiliki sembilan puluh lima ribu personel. Ekspedisi ini tiba sampai di laut yang terlupakan Konstantinpel.
Setelah kota Baghdad jatuh pada tahun 656 masehi yang menjadi akhir Dinasti Abbasiyah, usaha kebebasan Konstantinopel tetap diteruskan oleh kerajaan kecil di Asia timur terutama kerajaan Saljuk yang dipimpin oleh Alip Arselan sampai ke Daulah Turki Utsmaniyah pada pemerintahan, Bayazid I (795- 803 H / 1393-1401 M) dan Sultan Murad II (1422 M). Tapi usaha tetap masih ada.
Upaya pembebasan terus berlanjut. Sampai saat setelah abad lebaran, Allah mengabulkan agama Islam itu melalui Sultan Muhammad Al-Fatih, pemimpin ketujuh dari Daulah Utsmaniyah. Sejarah menceritakan bahwa Muhammad Al-Fatih adalah seorang yang saleh. Saat baligh, Al-Fatih tidak pernah meninggalkan kewajibannya dan senantiasa memperbanyak amalan sunnah. Setelah diangkat menjadi raja, Al-Fatih langsung melanjutkan tradisi para pendahulunya untuk terjun langsung dalam penaklukan Konstantinopel.
Al-Fatih memperbanyak jumlah pasukannya hingga mencapai 250.000 personil. Angka ini merupakan jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah tentara pada saat itu. Memperkuat pelatihan pasukan dengan berbagai kesenian tempur dan ketangkasan bersenjata, membuat mereka memiliki kemampuan tempur tingkat tinggi, untuk mendukung operasi jihad yang ditunggu-tunngu. Tidak ketinggalan, beliau juga menanamkan nilai-nilai tauhid dan keislaman pasukannya yang benar-benar memiliki ruh jihad yang kuat.
Setelah hampir dua bulan melakukan pengepungan dan serangan, yaitu dari 26 Rabi'ul Awal hingga 19 Jumadil Ula 857 H (6 April - 28 Mei 1453 M), dan dengan mengerahkan berbagai strategi termasuk mengirim kapal-kapal melalui bukit, membuat terowongan-terowongan, dan membuat benteng dari kayu, akhirnya pada 20 Jumadil Ula 857 M (29 Mei 1453 M) Konstantinopel berhasil dibebaskan pasukan Islam. (Lihat: Ali Muhammad Ash-Shalabi, Ad-Daulah Al-'Utsmaniyyah: 'Awamilu An-Nuhudh wa Asbab As-Suquth , hlm. 87-107)
Penaklukan Roma, Kabar Gembira yang Belum Terwujudkan
Nubu'at Nabi tentang penaklukkan Konstantinopel telah terbukti dan berhasil diwujudkan oleh Muhammad Al-Fatih. Ia menjadi figur pemimpin yang terbaik dan pasukannya menjadi pasukan terbaik yang berhasil merealisasikan janji Nabi. Lalu kembali ke hadis shahih di atas, yaitu kompilasi Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam ditanya, “Kota yang lebih dulu, Konstantinopel atau Roma?” Kemudian Rasul menjawab, “Kotanya Heraklius melepaskan lebih dulu, yaitu Konstantinopel,” (HR. Ahmad)
Tidak hanya Konstantinopel, hadis di juga dari kabar Rasul gembira dari Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bahwa orang Islam akan berhasil menyelesaikan Roma. Berdasarkan hadits tersebut, secara kronologi, pembebasan Roma terjadi setelah pembebasan Konstantinopel. Salah satu kisah yang menyebutkan bahwa kabar gembira itu disebutkan Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam sampaikan tatkala Islam di masa-masa sulit saat menyiapkan parit untuk menghadang pasukan koalisi Bangsa Quraisy pada Perang Ahzab.
Dalam kitab Mu'jam al-Buldaan , karya Yakut al-Hamawi dijelaskan bahwa Maksud Rumiyahhearts hadis di differences Adalah ibu kota Italia hari Penyanyi, Yaitu Roma. ( Mu'jam al-Buldan , 3/100) Setelah pembebasan Konstantinopel yang tujuh abad yang lalu, hingga saat ini Islam belum berhasil mengeluarkan kota Roma. Penyebutan Roma setelah Konstantinopel kebebasan merupakan mukjizat terpisah karena hingga sekarang Roma merupakan simbol agama Nasrani dan juga peradaban Romawi (Barat).
Memang Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallamtidak secara tegas menyebutkan kapan pembebasan Roma terjadi dan siapa aktornya seperti pada pembebasan Konstantinopel. Akan tetapi yang pasti adalah pembebasan Roma tidak akan terjadi lagi setelah Muslim yang memiliki kekuatan yang sangat besar, yaitu kekuatan yang sama atau bahkan lebih dari kekuatan Islam. Kekuatan itu hanya mungkin dilakukan dalam bahasa Islam yang telah ditegakkan berdasarkan metode kenabian, termasuk komentar Syaikh Al-Albani yang mengomentari hadits di atas. Ia menulis;
“Penaklukan pertama (Konstantinopel) telah berhasil direalisasikan melalui tangan Muhammad Al-Fatih al-'Utsmani. Seperti yang telah diketahui, penaklukan itu terealisasi setelah lebih dari delapan ratus tahun karena kabar gembira yang disampaikan oleh Nabi saw. Dan pembebasan kedua (yaitu penaklukan kota Roma) dengan izin Allah juga akan terealisasi. Sungguh, beritanya akan Anda melindungi pada bulan berikutnya. Tidak diragukan juga bahwa pembebasan kedua itu menuntut kembalinya Khilafah Rasyidah ke tengah-tengah Muslim. ”(Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, jld. 1, hlm. 33, tidak ada hadits. 1329)
Bukan tugas yang dilakukan untuk memastikan kapan itu terjadi, sebab ini merupakan perkara gaib. Namun, jika dicermati lebih dalam, ada banyak karakter yang bisa masuk ke dalam, yaitu tidak lepas dari jihad fi sabilillah, pengerahan pasukan, dan peperangan besar di akhir zaman. Tugas muslim tidak menunggu. Tapi terus-menerus agar agar bisa bergabung dengan mereka saat Allah menakdirkannya selama itu. Dan salah satu persiapannya adalah mencintai jihad fi sabilillah dan mengondisikan agar siap untuk berjihad. Wallahu 'alam bis shawab!
Penulis: Fakhruddin
Editor: Arju
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Labels
Search This Blog
Archive
Random Posts
Recent Posts
Recent in Sports
Header Ads
Labels
Products
#GusDur #Sejarah
#pahlawan #sejarah #bapakproklamator #1945 #pejuangNKRI
#UAS
#Ulama
1000 Komunitas Bagansiapiapi
aksi kemanusiaan
Artikel
Bagansiapiapi
Bencana
Berbagi
Budaya
Cerita
Dewan Kesenian Kecamatan Bangko
Dunia
FPI
g30s PKI
Galang dana
Gempa
Guru
Hijrah
Ilmiah
Info Lomba
Islam
Kemanusiaan
Kisah Rosul
KNPI
Melayu
Millenial
Musik
Palestina
Pemerintah
Pengertiang Kata
Peristiwa
PKI
Politik
Rokan Hilir
Sejarah
Sejarah Islam
Tokoh Masyarakat
Tokoh Muslimah
Tsunami
Ulama
Ulama uas
Umar Bin Khattab
Wisata Religius
World Clean Up Day
Category
- #GusDur #Sejarah
- #pahlawan #sejarah #bapakproklamator #1945 #pejuangNKRI
- #UAS
- #Ulama
- 1000 Komunitas Bagansiapiapi
- aksi kemanusiaan
- Artikel
- Bagansiapiapi
- Bencana
- Berbagi
- Budaya
- Cerita
- Dewan Kesenian Kecamatan Bangko
- Dunia
- FPI
- g30s PKI
- Galang dana
- Gempa
- Guru
- Hijrah
- Ilmiah
- Info Lomba
- Islam
- Kemanusiaan
- Kisah Rosul
- KNPI
- Melayu
- Millenial
- Musik
- Palestina
- Pemerintah
- Pengertiang Kata
- Peristiwa
- PKI
- Politik
- Rokan Hilir
- Sejarah
- Sejarah Islam
- Tokoh Masyarakat
- Tokoh Muslimah
- Tsunami
- Ulama
- Ulama uas
- Umar Bin Khattab
- Wisata Religius
- World Clean Up Day
Smartphones
Author Name
Recent Reviews
Produk Lainnya
Subscribe Us
Produk Terlaris
Dajjal merupakan tokoh yang sangat penting pada masa akhir zaman nanti. Bahkan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW, ia termasuk salah satu daripada tanda besar menjelang hari kiamat. Artinya, apabila Dajjal sudah muncul di hadapan manusia ramai, itu pertanda bahwa kiamat tidak akan lama lagi terjadi. Pertanyaannya sekarang, siapakah sebenarnya Dajjal? Sebelum membaca lebih lengkap, ada baiknya Anda menonton dulu video di bawah ini. Video ini mengabarkan bahwa seorang pemuda yang kelak akan dibunuh oleh Dajjal telah lahir di Palestina. Semoga Allah melindungi kita dari fitnah Dajjal. Daftar Isi [ hide ] 1 Biografi Dajjal 1.1 Ciri-ciri Fisik Dajjal 1.2 Lokasi, Kemunculan dan Tempat Persinggahannya 1.3 Para Pengikut Dajjal 1.4 Fitnah dan Kemampuan Dajjal 1.5 Kematian Dajjal 2 Cara Menangkal Fitnah Dajjal Biografi Dajjal kabarmakkah.com Dajjal adalah makhluk Allah yang masih dalam kategori keturunan Nabi Adam as alias manusia. Sehingga, teori-teori atau duga